Asal Usul Sunan Kalijaga
Sudah banyak orang tahu bahwa Sunan Kalijaga itu aslinya bernama Raden Said. Putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta. Tumenggung Wilatikta seringkali disebut Raden Sahur, walau dia termasuk keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah masuk agama Islam. Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban. Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak. Gelora jiwa muda Raden said seakan meledak-ledak manakala melihat praktek oknum pejabat Kadipaten Tuban di saat menarik pajak pada penduduk atau rakyat jelata.
Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita dikarenakan adanya musim kemarau panjang, semakin sengsara, mereka harus membayar pajak yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk persediaan menghadapi musim panen berikutnya sudah disita para penarik pajak. Raden Said yang mengetahui hal itu pernah mengajukan pertanyaan yang mengganjal di hatinya.
Suatu hari dia menghadap ayahandanya.“Rama Adipati, rakyat tahun ini sudah semakin sengsara karena panen banyak yang gagal,” kata Raden Said. “Mengapa pundak mereka masih harus dibebani dengan pajak yang mencekik leher mereka. Apakah hati nurani Rama tidak merasa kasihan atas penderitaan mereka ?” Adipati Wilatikta menatap tajam kea rah putranya. Sesaat kemudian dia menghela nafas panjang dan kemudian mengeluarkan suara, “Said anakku saat ini pemerintah pusat Majapahit sedang membutuhkan dana yang sangat besar untuk melangsungkan roda pemerintahan. Aku ini hanyalah seorang bawahan sang Prabu, apa dayaku menolak tugas yang dibebankan kepadaku. Bukan hanya Kadipaten Tuban yang diwajibkan membayar upeti lebih banyak dari tahun-tahun yang lalu. Kadipaten lainnya juga mendapat tugas serupa.” “Tapi, mengapa harus rakyat yang jadi korban.” Sahut Raden Said. Tapi Raden Said tak meneruskan ucapannya. Dilihatnya saat itu wajah ayahnya berubah menjadi merah padam pertanda hatinya sedang tersinggung atau naik pitam. Baru kali ini Raden Said membuat ayahnya marah. Hal yang selama hiduptak pernah dilakukannya. Raden Said tahu diri. Sambil bersungut-sungut dia merunduk dan mengundurkan diri dari hadapan ayahnya yang sedang marah. Ya, Raden Said tak perlu melanjutkan pertanyaan. Sebab dia sudah dapat menjawabnya sendiri. Majapahit sedang membutuhkan dana besar karena negeri itu sering menghadapi kekacauan, baik memadamkan pemberontakan maupun terjadinya perang saudara.
Walau Raden Said putra seorang bangsawan dia lebih menyukai kehidupan yang bebas, yang tidak terikat oleh adapt istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul dengan rakyat jelata atau dengan segala lapisan masyarakat, dari yang paling bawah hingga yang paling atas. Justru karena pergaulannya yang supel itulah dia banyak mengetahui selukbeluk kehidupan rakyat Tuban. Niat untuk mengurangi penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya. Tapi agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahaminya pula posisi ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi niat itu tak pernah padam. Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di dalam kamarnya sembari mengumandangkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, maka sekarang dia keluar rumah. Di saat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap, Raden Said mengambil sebagian hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke Majapahit. Bahan makan itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang sangat membutuhkannya. Tentu saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi kaget bercampur girang menerima rezeki yang tak diduga-duga. Walau mereka tak pernah tahu siapa gerangan yang memberikan rezeki itu, sebabnya Raden Said melakukannya di malam hari secara sembunyi-sembunyi. Bukan hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang seakan turun dari langit itu. Penjaga gudang Kadipaten juga merasa kaget, hatinya kebat-kebit, soalnya makin hari barangbarang yang hendak disetorkan ke pusat kerajaan Majapahit itu makin berkurang. Ia ingin mengetahui siapakah pencuri barang hasil bumi di dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja sengaja mengintip dari kejauhan, dari balik sebuah rumah, tak jauh dari gudang Kadipaten. Dugaannya benar, ada seseorang membuka pintu gudang, hampir tak berkedip penjaga gudang itu memperhatikan, pencuri itu. Dia hampir tak percaya, pencuri itu adalah Raden Said, putra junjungannya sendiri. Untuk melaporkannya sendiri kepada Adipati Wilatikta ia tak berani. Kuatir dianggap membuat fitnah. Maka penjaga gudang itu hanya minta dua orang saksi dari sang Adipati untuk memergoki pencuri yang mengambil hasil bumi rakyat yang tersimpan di gudang.
Raden Said tak pernah menyangka bahwa malam itu perbuatannya bakal ketahuan. Ketika ia hendak keluar dari gudang sambil membawa bahan-bahan makanan, tiga orang prajurid Kadipaten menangkapnya beserta barang bukti yang dibawanya. Raden Said dibawa kehadapan ayahnya. “Sungguh memalukan sekali perbuatanmu itu !” hardik Adipati Wilatikta. “Kurang apakah aku ini, benarkah aku tak menjamin kehidupanmu di istana Kadipaten ini ? Apakah aku pernah melarangnya untuk makan sekenyang-kenyangnya di Istana ini ? Atau aku tidak pernah memberimu pakaian ? Mengapa kau lakukan perbuatan tecela itu ?” Raden Said tidak mengeluarkan suara. Biarlah, bisik hatinya. Biarlah orang tak pernah tahu untuk apa barang-barang yang tersimpan di gudang Kadipaten itu kuambil. Biarlah ayahku tak pernah tahu kepada siapa barang-barang itu kuberikan. Adipati Wilatikta semakin marah melihat sikap anaknya itu. Raden Said tidak menjawabnya untuk apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang hendak disetorkan ke Majapahit itu. Tapi untuk itu Raden Said harus mendapat hukuman, karena kejahatan mencuri itu baru pertama kali dilakukannya maka dia hanya mendapat hukuman cambuk dua ratus kali pada tangannya. Kemudian disekap selama beberapa hari, tak boleh keluar rumah. Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah diterimanya ?
Sesudah keluar dari hukuman dia benar-benar keluar dari lingkungan istana. Tak pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan adiknya. Apa yang dilakukan Raden Said selanjutnya ?. Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian serba hitam dan kemudian merampok harta orang-orang kaya di kabupaten Tuban. Terutama orang kaya yang pelit dan para pejabat Kadipaten yang curang. Harta hasil rampokan itupun diberikannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang menderita lainnya. Tapi ketika perbuatannya ini mencapai titik jenuh ada saja orang yang bermaksud mencelakakannya. Ada seorang pemimpin perampok sejati yang mengetahui aksi Raden Said menjarah harta pejabat kaya, kemudian pemimpin rampok itu mengenakan pakaian serupa dengan pakaian Raden Said, bahkan juga mengenakan topeng seperti topeng Raden Said juga.
Pada suatu malam, Raden Said yang baru saja menyelesaikan shalat IsyĆ” mendengar jerit tangis para penduduk desa yang kampungnya sedang dijarah perampok. Dia segera mendatangi tempat kejadian itu. Begitu mengetahui kedatangan Raden Said, kawanan perampok itu segera berhamburan melarikan diri. Tinggal pemimpin mereka yang sedang asyik memperkosa seorang gadis cantik. Raden Said mendobrak pintu rumah si gadis yang sedang diperkosa. Di dalam sebuah kamar dia melihat seseorang berpakaian seperti dirinya, juga mengenakan topeng serupa sedang berusaha mengenakan pakaiannya kembali. Rupanya dia sudah selesai memperkosa gadis itu. Raden Said berusaha menangkap perampok itu. Namun pemimpin rampok itu berhasil melarikan diri. Mendadak terdengar suara kentongan di pukul bertalu-talu, penduduk dari kampung lain berdatangan ke tempat itu. Pada saat itulah si gadis yang baru diperkosa perampok tadi menghamburkan diri dan menangkap erat-erat tangan Raden Said. Raden Said pun jadi panik dan kebingungan. Para pemuda dari kampung lain menerobos masuk dengan senjata terhunus. Raden Said ditangkap dan dibawa ke rumah kepala desa. Kepala desa yang merasa penasaran mencoba membuka topeng di wajah Raden Said. Begitu mengetahui siapa orang dibalik topeng itu sang kepala desa jadi terbungkam. Sama sekali tak disangkanya bahwa perampok itu adalah putra junjungannya sendiri yaitu Raden Said. Gegerlah masyarakat pada saat itu. Raden Said dianggap perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosa adalah bukti kuat dan saksi hidup atas kejadian itu. Sang kepala desa masih berusaha menutup aib junjungannya. Diam-diam ia membawa Raden Said ke istana Kadipaten Tuban tanpa diketahui orang banyak. Tentu saja sang Adipati menjadi murka. Sang Adipati yang selama ini selalu merasa sayang dan selalu membela anaknya kali ini juga naik pitam. Raden Said diusir dari wilayah Kadipaten Tuban. “Pergi dari Kadipaten Tuban ini !” kau telah mencoreng nama baik keluargamu sendiri ! pergi ! jangan kembali sebelum kau dapat menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten Tuban ini dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang sering kau baca di malam hari !” Sang Adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas kejadian itu.
Raden Said yang diharapkan dapat menggantikan kedudukannya selaku Adipati Tuban ternyata telah menutup kemungkinan ke arah itu. Sirna sudah segala harapan sang adipati. Hanya ada satu orang yang tak dapat mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden said. Raden Said itu berjiwa bersih luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Hati siapa yang takkan hancur mengalami peristiwa seperti ini. Raden Said bermaksud menolong fakir miskin dan penduduk yang menderita tapi akibatnya justru dia sendiri yang harus menelan derita. Diusir dari Kadipaten Tuban. Orang tua mana yang tak terpukul batinnya mengetahui anak dambaan hati tiba-tiba berbuat jahat dan menghancurkan nama dan masa depannya sendiri. Tapi itulah peristiwa yang memang harus dialami oleh Raden Said. Seandainya tidak ada fitnah seperti itu, barangkali Raden Said tidak bakal menjadi seorang ulama besar, seorang Wali yang dikagumi oleh seluruh penduduk Tanah Jawa. Raden Said betul-betul meninggalkan Kadipaten Tuban. Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya itu merasa kasihan, tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya dia meninggalkan istana Kadipaten Tuban untuk mencari Raden Said untuk diajak pulang. Tentu saja sang ayah dan ibu kelabakan mengetahui hal ini. Segera saja diperintahkan puluhan prajurit Tuban untuk mencari Dewi Rasawulan tak pernah ditemukan oleh mereka.
Sementara itu disebuah hutan yang lebat, Raden Said bertemu dengan segerombolan perampok. Perampok itu mengaku bernama Brandaj Lokajaya alias Raden Said. Ternyata ia yang sudah memfitnah dirinya. Mereka bercekcok mulut hingga akhirnya bertarung, dan Brandal Lokajaya tewas ditangan Raden Said. Semenjak itu ank buah Brandal Lokajaya menyerah dan tunduk kepada Raden Said. Raden Said tak mau keluar dari hutan itu, ia sekarang menggantikan kedudukan Brandal Lokajaya menjadi perampok dan merampas harta orang yang kebetulan lewat dihutan itu. Bedanya hasil dari rampokanya dibagi-bagikan kepada rakyat miskin yang ada ditepi hutan. Sedangkan yang menjadi korbanya tidak semua orang, melainkan sikaya yang kikir atau pejabat yang korup.
Suatu ketika, melintas seorang laki-laki tua berjubah. Rambut jenggotnya sudah memutih. Lelaki itu tak membawa apa-apa kecuali tongkat sebagai penyanggah jika ia berjalan. Namun Raden Said mencegatnya. Orang berjubah itu tampak tenang, tak gentar sedikitpun. Ia menghentikan langkahnya. “Berikan tongkat itu kepadaku!” pinta Raden Said. Ia tahu bahwa kepala tangkat itu berupa emas. “Percuma kau menginginkan tangkat ini, karena emasnya hanya sekepal tangan. Kalau kau ingin yang lebih banyak, maka ambilah emas itu!” kata pak tua seraya menuding sebuah pohon aren. Dengan penuh keajaiban, buah arenpun berubah menjadi emas. Seketika itu Raden Said menjatuhkan tubuh dan bersimpuh dikaki orang yang hendak dirampok itu. “Maafkan aku pak tua, siapakah sesungguhnya engkau ini?”. “ Orang menyebutku Sunan Bonang” jawabnya. Raden Said lalu menceritakan tentang dirinya, dan bagaimana sampai ia menjadi seorang perampok. “Berhentilah dari perbuatan burukmu, walaupun harta yang kau dapat dari hasil merampok diberikan kepada rakyat miskin, tetap saja itu tidak dibenarkan. Ibarat mencuci baju dengan air kencing, tidak menjadi bersih malah menjadi kotor. Agama tidak mencampuradukan sesuatu yang hak dan yang batil. Karena itu segeralah bertaubat” ujar Sunan Bonang.
Raden Said tertarik dengan ilmu agama dan kebijaksanaan sunan Bonang, lalu ia memohon agar diangkat sebagai muridnya…“tidak mudah menjadi muridku, apakah kau sanggup menanggung syarat-syaratya” ujar sunan boning. ‘Apapun yang kanjeng sunan perintahkan kepadaku, aku siap melakukanya’ kata raden said. Sunan Bonang hendak menuju gersik, tetapi ia tak bisa mengajak Raden said. Karena itu, ia menyuruh Raden Said untuk menunggu ditepi sungai, “duduklah dengan tenang dan penuh konsentrasi layaknya orang bertapa, Koreklah semua kesalahan yang pernah kau perbuat, dan jangan sekali-kali kau meninggalkan tempat ini sebelum aku kembali!” demikian pesan sunan Bonang.
Raden Said memulai semedinya. Ia duduk bersila ditepi sungai yang tenang. Tiba-tiba ia teringat tentang kisah Ashabul Kahfi yang mana beberapa orang pemuda masuk kedalam gua dan tertidur selama ratusan tahun. Raden Said membaca ayat-ayat pertama Ashabul Kahfi, memohon kepada tuhan agar ia bias tidur dalam masa penantian ditepi sungai itu. Do`a Raden Said dikabulkan oleh tuhan. Ia tidur terlelap dalam keadaan duduk bersila dan kedua tangan menyilang didada. Tidak satu dua hari atau satu dua bulan, namun Raden Said terlena sampai tiga tahun lamanya. Semak-semak ditepi sungai itu merambat dan menutupi tubuhnya. Katika air pasang, tubuh Raden Said tak tersentuh air sedikitpun.
Tiga tahun kemudian, sunan Bonang melintas ditempat itu dan keadaanya berubah tidak seperti yang dulu. Sebenarnya selama melakukan perjalanan Dakwah ke Gresik untuk bertemu sunan Giri, sunan Bonang sudah lupa bahwa ia pernah meninggalkan Raden Said ditepi sungai. Namun ketika melintasi daerah itu tiba-tiba ia merasa ada firasat, lalu ia teringat bahwa tiga tahun lamanya Raden Said diminta untuk menunggu kedatanganya. Sunan Bonang berhenti dan mengingat-ingat dimana kiranya Raden Said menunggu. Akhirnya ditemukan juga, namun keadaan tubuh Raden said tak dapat dikenali karena tertutup semak merambat dan akar-akar pohon ditepi sungai, bahkan kulitnya telah ditumbuhi lumut.
Sunan Bonang membersihkan semak dan akar-akar yang mecengkram tubuh Raden Said, lalu membaringkanya ditempat landa. Raden Said seakan-akan sudah tak bernyawa lagi, tubuhnya bagaikan pohon yang mati. Setelah dibersihkan, kemudian sunan Bonang membaca mantera “raden Said bangunlah” kata sunan Bonang. Namun raden Said tak bergerak sama sekali. Sunan Bonang mencoba meraba dada raden Said, lalu memegangi urat nadi dipergelangan tangan “masih berdenyut” berarti putra adipati Tuban itu masih hidup, Sunan Bonang lalu mengumandangkan suara adzan ditelinga raden Said. Perlahan-lahan tubuh yang sangat kurus itu bergerak-gerak, matanya kemudian sedikit-sedikit terbuka. Setelah sadar dari tidur gaibnya, raden Said disuruh mandi disungai dan membersihkan segala kotoran yang menempel pada tubuhnya. Sunan Bonang lalu membernya pakaian. “Engkau ternyata pemuda yang cukup amanah dan setia menepati janji. Buktinya selama tiga tahun kutinggalkan, kau tetap tak beranjak dari tempat ini” puji sunan boning. “Sekarang marilah ikut aku kekerajaan Demak Bintoro, disana engkau akan kuperkanalkan dengan para wali. Namun sebelum berangkat aku akan mengubah namamu bukan raden said lagi, namamu sekarang Kalijaga artinya orang yang setia menjaga sungai” ujar sunan Bonang. Semenjak itulah raden Said berganti nama menjadi Kalijaga. Ia juga menjadi wali penyebar agama islam, dan bergelar Sunan Kalijaga.
Setiap malam ia selalu membaca ayat-ayat suci Al-Qur`an. Suaranya sampai terdengar di Kadipaten Tuban, menggetarkan hati yang mendengarkan, termasuk ayahnya sendiri yaitu Adipati Wilatika. Di dalam Babad Tanah Jawa dikisahkan bahwa Dewi Rasawulan pada akhirnya telah ditemukan oleh Empu Supa, seorang Tumenggung Majapahit yang menjadi murid Sunan Kalijaga. Dewi Rasawulan kemudian dijodohkan dengan Empu Supa. Dan kembali ke Tuban bersama-sama dengan diantar Sunan Kalijaga yang tak lain adalah Raden Said sendiri.
Sudah banyak orang tahu bahwa Sunan Kalijaga itu aslinya bernama Raden Said. Putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta. Tumenggung Wilatikta seringkali disebut Raden Sahur, walau dia termasuk keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah masuk agama Islam. Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban. Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak. Gelora jiwa muda Raden said seakan meledak-ledak manakala melihat praktek oknum pejabat Kadipaten Tuban di saat menarik pajak pada penduduk atau rakyat jelata.
Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita dikarenakan adanya musim kemarau panjang, semakin sengsara, mereka harus membayar pajak yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk persediaan menghadapi musim panen berikutnya sudah disita para penarik pajak. Raden Said yang mengetahui hal itu pernah mengajukan pertanyaan yang mengganjal di hatinya.
Suatu hari dia menghadap ayahandanya.“Rama Adipati, rakyat tahun ini sudah semakin sengsara karena panen banyak yang gagal,” kata Raden Said. “Mengapa pundak mereka masih harus dibebani dengan pajak yang mencekik leher mereka. Apakah hati nurani Rama tidak merasa kasihan atas penderitaan mereka ?” Adipati Wilatikta menatap tajam kea rah putranya. Sesaat kemudian dia menghela nafas panjang dan kemudian mengeluarkan suara, “Said anakku saat ini pemerintah pusat Majapahit sedang membutuhkan dana yang sangat besar untuk melangsungkan roda pemerintahan. Aku ini hanyalah seorang bawahan sang Prabu, apa dayaku menolak tugas yang dibebankan kepadaku. Bukan hanya Kadipaten Tuban yang diwajibkan membayar upeti lebih banyak dari tahun-tahun yang lalu. Kadipaten lainnya juga mendapat tugas serupa.” “Tapi, mengapa harus rakyat yang jadi korban.” Sahut Raden Said. Tapi Raden Said tak meneruskan ucapannya. Dilihatnya saat itu wajah ayahnya berubah menjadi merah padam pertanda hatinya sedang tersinggung atau naik pitam. Baru kali ini Raden Said membuat ayahnya marah. Hal yang selama hiduptak pernah dilakukannya. Raden Said tahu diri. Sambil bersungut-sungut dia merunduk dan mengundurkan diri dari hadapan ayahnya yang sedang marah. Ya, Raden Said tak perlu melanjutkan pertanyaan. Sebab dia sudah dapat menjawabnya sendiri. Majapahit sedang membutuhkan dana besar karena negeri itu sering menghadapi kekacauan, baik memadamkan pemberontakan maupun terjadinya perang saudara.
Walau Raden Said putra seorang bangsawan dia lebih menyukai kehidupan yang bebas, yang tidak terikat oleh adapt istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul dengan rakyat jelata atau dengan segala lapisan masyarakat, dari yang paling bawah hingga yang paling atas. Justru karena pergaulannya yang supel itulah dia banyak mengetahui selukbeluk kehidupan rakyat Tuban. Niat untuk mengurangi penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya. Tapi agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahaminya pula posisi ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi niat itu tak pernah padam. Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di dalam kamarnya sembari mengumandangkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, maka sekarang dia keluar rumah. Di saat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap, Raden Said mengambil sebagian hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke Majapahit. Bahan makan itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang sangat membutuhkannya. Tentu saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi kaget bercampur girang menerima rezeki yang tak diduga-duga. Walau mereka tak pernah tahu siapa gerangan yang memberikan rezeki itu, sebabnya Raden Said melakukannya di malam hari secara sembunyi-sembunyi. Bukan hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang seakan turun dari langit itu. Penjaga gudang Kadipaten juga merasa kaget, hatinya kebat-kebit, soalnya makin hari barangbarang yang hendak disetorkan ke pusat kerajaan Majapahit itu makin berkurang. Ia ingin mengetahui siapakah pencuri barang hasil bumi di dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja sengaja mengintip dari kejauhan, dari balik sebuah rumah, tak jauh dari gudang Kadipaten. Dugaannya benar, ada seseorang membuka pintu gudang, hampir tak berkedip penjaga gudang itu memperhatikan, pencuri itu. Dia hampir tak percaya, pencuri itu adalah Raden Said, putra junjungannya sendiri. Untuk melaporkannya sendiri kepada Adipati Wilatikta ia tak berani. Kuatir dianggap membuat fitnah. Maka penjaga gudang itu hanya minta dua orang saksi dari sang Adipati untuk memergoki pencuri yang mengambil hasil bumi rakyat yang tersimpan di gudang.
Raden Said tak pernah menyangka bahwa malam itu perbuatannya bakal ketahuan. Ketika ia hendak keluar dari gudang sambil membawa bahan-bahan makanan, tiga orang prajurid Kadipaten menangkapnya beserta barang bukti yang dibawanya. Raden Said dibawa kehadapan ayahnya. “Sungguh memalukan sekali perbuatanmu itu !” hardik Adipati Wilatikta. “Kurang apakah aku ini, benarkah aku tak menjamin kehidupanmu di istana Kadipaten ini ? Apakah aku pernah melarangnya untuk makan sekenyang-kenyangnya di Istana ini ? Atau aku tidak pernah memberimu pakaian ? Mengapa kau lakukan perbuatan tecela itu ?” Raden Said tidak mengeluarkan suara. Biarlah, bisik hatinya. Biarlah orang tak pernah tahu untuk apa barang-barang yang tersimpan di gudang Kadipaten itu kuambil. Biarlah ayahku tak pernah tahu kepada siapa barang-barang itu kuberikan. Adipati Wilatikta semakin marah melihat sikap anaknya itu. Raden Said tidak menjawabnya untuk apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang hendak disetorkan ke Majapahit itu. Tapi untuk itu Raden Said harus mendapat hukuman, karena kejahatan mencuri itu baru pertama kali dilakukannya maka dia hanya mendapat hukuman cambuk dua ratus kali pada tangannya. Kemudian disekap selama beberapa hari, tak boleh keluar rumah. Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah diterimanya ?
Sesudah keluar dari hukuman dia benar-benar keluar dari lingkungan istana. Tak pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan adiknya. Apa yang dilakukan Raden Said selanjutnya ?. Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian serba hitam dan kemudian merampok harta orang-orang kaya di kabupaten Tuban. Terutama orang kaya yang pelit dan para pejabat Kadipaten yang curang. Harta hasil rampokan itupun diberikannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang menderita lainnya. Tapi ketika perbuatannya ini mencapai titik jenuh ada saja orang yang bermaksud mencelakakannya. Ada seorang pemimpin perampok sejati yang mengetahui aksi Raden Said menjarah harta pejabat kaya, kemudian pemimpin rampok itu mengenakan pakaian serupa dengan pakaian Raden Said, bahkan juga mengenakan topeng seperti topeng Raden Said juga.
Pada suatu malam, Raden Said yang baru saja menyelesaikan shalat IsyĆ” mendengar jerit tangis para penduduk desa yang kampungnya sedang dijarah perampok. Dia segera mendatangi tempat kejadian itu. Begitu mengetahui kedatangan Raden Said, kawanan perampok itu segera berhamburan melarikan diri. Tinggal pemimpin mereka yang sedang asyik memperkosa seorang gadis cantik. Raden Said mendobrak pintu rumah si gadis yang sedang diperkosa. Di dalam sebuah kamar dia melihat seseorang berpakaian seperti dirinya, juga mengenakan topeng serupa sedang berusaha mengenakan pakaiannya kembali. Rupanya dia sudah selesai memperkosa gadis itu. Raden Said berusaha menangkap perampok itu. Namun pemimpin rampok itu berhasil melarikan diri. Mendadak terdengar suara kentongan di pukul bertalu-talu, penduduk dari kampung lain berdatangan ke tempat itu. Pada saat itulah si gadis yang baru diperkosa perampok tadi menghamburkan diri dan menangkap erat-erat tangan Raden Said. Raden Said pun jadi panik dan kebingungan. Para pemuda dari kampung lain menerobos masuk dengan senjata terhunus. Raden Said ditangkap dan dibawa ke rumah kepala desa. Kepala desa yang merasa penasaran mencoba membuka topeng di wajah Raden Said. Begitu mengetahui siapa orang dibalik topeng itu sang kepala desa jadi terbungkam. Sama sekali tak disangkanya bahwa perampok itu adalah putra junjungannya sendiri yaitu Raden Said. Gegerlah masyarakat pada saat itu. Raden Said dianggap perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosa adalah bukti kuat dan saksi hidup atas kejadian itu. Sang kepala desa masih berusaha menutup aib junjungannya. Diam-diam ia membawa Raden Said ke istana Kadipaten Tuban tanpa diketahui orang banyak. Tentu saja sang Adipati menjadi murka. Sang Adipati yang selama ini selalu merasa sayang dan selalu membela anaknya kali ini juga naik pitam. Raden Said diusir dari wilayah Kadipaten Tuban. “Pergi dari Kadipaten Tuban ini !” kau telah mencoreng nama baik keluargamu sendiri ! pergi ! jangan kembali sebelum kau dapat menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten Tuban ini dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang sering kau baca di malam hari !” Sang Adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas kejadian itu.
Raden Said yang diharapkan dapat menggantikan kedudukannya selaku Adipati Tuban ternyata telah menutup kemungkinan ke arah itu. Sirna sudah segala harapan sang adipati. Hanya ada satu orang yang tak dapat mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden said. Raden Said itu berjiwa bersih luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Hati siapa yang takkan hancur mengalami peristiwa seperti ini. Raden Said bermaksud menolong fakir miskin dan penduduk yang menderita tapi akibatnya justru dia sendiri yang harus menelan derita. Diusir dari Kadipaten Tuban. Orang tua mana yang tak terpukul batinnya mengetahui anak dambaan hati tiba-tiba berbuat jahat dan menghancurkan nama dan masa depannya sendiri. Tapi itulah peristiwa yang memang harus dialami oleh Raden Said. Seandainya tidak ada fitnah seperti itu, barangkali Raden Said tidak bakal menjadi seorang ulama besar, seorang Wali yang dikagumi oleh seluruh penduduk Tanah Jawa. Raden Said betul-betul meninggalkan Kadipaten Tuban. Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya itu merasa kasihan, tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya dia meninggalkan istana Kadipaten Tuban untuk mencari Raden Said untuk diajak pulang. Tentu saja sang ayah dan ibu kelabakan mengetahui hal ini. Segera saja diperintahkan puluhan prajurit Tuban untuk mencari Dewi Rasawulan tak pernah ditemukan oleh mereka.
Sementara itu disebuah hutan yang lebat, Raden Said bertemu dengan segerombolan perampok. Perampok itu mengaku bernama Brandaj Lokajaya alias Raden Said. Ternyata ia yang sudah memfitnah dirinya. Mereka bercekcok mulut hingga akhirnya bertarung, dan Brandal Lokajaya tewas ditangan Raden Said. Semenjak itu ank buah Brandal Lokajaya menyerah dan tunduk kepada Raden Said. Raden Said tak mau keluar dari hutan itu, ia sekarang menggantikan kedudukan Brandal Lokajaya menjadi perampok dan merampas harta orang yang kebetulan lewat dihutan itu. Bedanya hasil dari rampokanya dibagi-bagikan kepada rakyat miskin yang ada ditepi hutan. Sedangkan yang menjadi korbanya tidak semua orang, melainkan sikaya yang kikir atau pejabat yang korup.
Suatu ketika, melintas seorang laki-laki tua berjubah. Rambut jenggotnya sudah memutih. Lelaki itu tak membawa apa-apa kecuali tongkat sebagai penyanggah jika ia berjalan. Namun Raden Said mencegatnya. Orang berjubah itu tampak tenang, tak gentar sedikitpun. Ia menghentikan langkahnya. “Berikan tongkat itu kepadaku!” pinta Raden Said. Ia tahu bahwa kepala tangkat itu berupa emas. “Percuma kau menginginkan tangkat ini, karena emasnya hanya sekepal tangan. Kalau kau ingin yang lebih banyak, maka ambilah emas itu!” kata pak tua seraya menuding sebuah pohon aren. Dengan penuh keajaiban, buah arenpun berubah menjadi emas. Seketika itu Raden Said menjatuhkan tubuh dan bersimpuh dikaki orang yang hendak dirampok itu. “Maafkan aku pak tua, siapakah sesungguhnya engkau ini?”. “ Orang menyebutku Sunan Bonang” jawabnya. Raden Said lalu menceritakan tentang dirinya, dan bagaimana sampai ia menjadi seorang perampok. “Berhentilah dari perbuatan burukmu, walaupun harta yang kau dapat dari hasil merampok diberikan kepada rakyat miskin, tetap saja itu tidak dibenarkan. Ibarat mencuci baju dengan air kencing, tidak menjadi bersih malah menjadi kotor. Agama tidak mencampuradukan sesuatu yang hak dan yang batil. Karena itu segeralah bertaubat” ujar Sunan Bonang.
Raden Said tertarik dengan ilmu agama dan kebijaksanaan sunan Bonang, lalu ia memohon agar diangkat sebagai muridnya…“tidak mudah menjadi muridku, apakah kau sanggup menanggung syarat-syaratya” ujar sunan boning. ‘Apapun yang kanjeng sunan perintahkan kepadaku, aku siap melakukanya’ kata raden said. Sunan Bonang hendak menuju gersik, tetapi ia tak bisa mengajak Raden said. Karena itu, ia menyuruh Raden Said untuk menunggu ditepi sungai, “duduklah dengan tenang dan penuh konsentrasi layaknya orang bertapa, Koreklah semua kesalahan yang pernah kau perbuat, dan jangan sekali-kali kau meninggalkan tempat ini sebelum aku kembali!” demikian pesan sunan Bonang.
Raden Said memulai semedinya. Ia duduk bersila ditepi sungai yang tenang. Tiba-tiba ia teringat tentang kisah Ashabul Kahfi yang mana beberapa orang pemuda masuk kedalam gua dan tertidur selama ratusan tahun. Raden Said membaca ayat-ayat pertama Ashabul Kahfi, memohon kepada tuhan agar ia bias tidur dalam masa penantian ditepi sungai itu. Do`a Raden Said dikabulkan oleh tuhan. Ia tidur terlelap dalam keadaan duduk bersila dan kedua tangan menyilang didada. Tidak satu dua hari atau satu dua bulan, namun Raden Said terlena sampai tiga tahun lamanya. Semak-semak ditepi sungai itu merambat dan menutupi tubuhnya. Katika air pasang, tubuh Raden Said tak tersentuh air sedikitpun.
Tiga tahun kemudian, sunan Bonang melintas ditempat itu dan keadaanya berubah tidak seperti yang dulu. Sebenarnya selama melakukan perjalanan Dakwah ke Gresik untuk bertemu sunan Giri, sunan Bonang sudah lupa bahwa ia pernah meninggalkan Raden Said ditepi sungai. Namun ketika melintasi daerah itu tiba-tiba ia merasa ada firasat, lalu ia teringat bahwa tiga tahun lamanya Raden Said diminta untuk menunggu kedatanganya. Sunan Bonang berhenti dan mengingat-ingat dimana kiranya Raden Said menunggu. Akhirnya ditemukan juga, namun keadaan tubuh Raden said tak dapat dikenali karena tertutup semak merambat dan akar-akar pohon ditepi sungai, bahkan kulitnya telah ditumbuhi lumut.
Sunan Bonang membersihkan semak dan akar-akar yang mecengkram tubuh Raden Said, lalu membaringkanya ditempat landa. Raden Said seakan-akan sudah tak bernyawa lagi, tubuhnya bagaikan pohon yang mati. Setelah dibersihkan, kemudian sunan Bonang membaca mantera “raden Said bangunlah” kata sunan Bonang. Namun raden Said tak bergerak sama sekali. Sunan Bonang mencoba meraba dada raden Said, lalu memegangi urat nadi dipergelangan tangan “masih berdenyut” berarti putra adipati Tuban itu masih hidup, Sunan Bonang lalu mengumandangkan suara adzan ditelinga raden Said. Perlahan-lahan tubuh yang sangat kurus itu bergerak-gerak, matanya kemudian sedikit-sedikit terbuka. Setelah sadar dari tidur gaibnya, raden Said disuruh mandi disungai dan membersihkan segala kotoran yang menempel pada tubuhnya. Sunan Bonang lalu membernya pakaian. “Engkau ternyata pemuda yang cukup amanah dan setia menepati janji. Buktinya selama tiga tahun kutinggalkan, kau tetap tak beranjak dari tempat ini” puji sunan boning. “Sekarang marilah ikut aku kekerajaan Demak Bintoro, disana engkau akan kuperkanalkan dengan para wali. Namun sebelum berangkat aku akan mengubah namamu bukan raden said lagi, namamu sekarang Kalijaga artinya orang yang setia menjaga sungai” ujar sunan Bonang. Semenjak itulah raden Said berganti nama menjadi Kalijaga. Ia juga menjadi wali penyebar agama islam, dan bergelar Sunan Kalijaga.
Setiap malam ia selalu membaca ayat-ayat suci Al-Qur`an. Suaranya sampai terdengar di Kadipaten Tuban, menggetarkan hati yang mendengarkan, termasuk ayahnya sendiri yaitu Adipati Wilatika. Di dalam Babad Tanah Jawa dikisahkan bahwa Dewi Rasawulan pada akhirnya telah ditemukan oleh Empu Supa, seorang Tumenggung Majapahit yang menjadi murid Sunan Kalijaga. Dewi Rasawulan kemudian dijodohkan dengan Empu Supa. Dan kembali ke Tuban bersama-sama dengan diantar Sunan Kalijaga yang tak lain adalah Raden Said sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar