Selamat Datang di http://gragecarita.blogspot.com, Mengenal Sejarah Cirebon, Situs Bersejarah, Seni dan Budaya Cirebon

Jumat, 01 Oktober 2010

BENDERA KERATON CIREBON (MACAN ALI)













“Macan Ali” adalah Bendera sekaligus lambang Kebesaran Keraton Cirebon, bentuknya berupa kaligrafi arab yang mengikuti bentuk piktogram stilasi dari “Macan Duduk”. Sering ditemukan di Lukisan Kaca seniman Cirebon.


Di Keraton Pakungwati Cirebon (keraton awal) pernah dibentuk sepasukan khusus berjumlah 12 orang yang dapat berubah wujud menjadi macan. Keraton memberikan “jubah & Bandrang (Kepala Tombak)” sebagai tanda. Kalau mau berubah dengan memakai jubah itu, pasukan ini tidak muncul sembarangan, hanya kalau Cirebon terancam bahaya saja. Tandanya Cirebon bahaya adalah apabila “Kantil” atau Kurung Batang di Astana Gunung.Jati yang berlapis emas raib, terbang, atau bergoncang.

Pasukan ini berlanjut diwariskan ke ahli warisnya sampai sekarang, konon pemunculannya hanya di bulan Mulud dan di tempat keramat yang ditunjuk. Sekarang sudah berkurang jumlahnya mungkin cuman 5 saja. Menurut cerita lain kalau bulan Mulud suka muncul di Petilasan Tapak Semar (arah barat hutan Astana Gunung Jati). Waktu ribut2 tahta di Keraton Kanoman dulu, muncul di sumur tujuh Jalatunda, menurut orang yang melihat bentuknya orang bergamis, berjalan agak merangkak lama kelamaan berkelebat jadi macan menghilang. Tiap anggota punya nama dan pangkat, diambil dari nama daerah masing2…misalnya “Ki Gedheng”

Cerita yang lain, perihal pelacakan Pasukan Khusus Macan pengawal Kraton Cirebon, bernama Singha Barwang Djalalullah yang konon kabarnya cuma tersisa 5 orang. Tidak bisa diperkirakan berapa jumlah tepatnya pasukan macan ini yang tersisa, bisa 3, 5 atau 7 orang. Yang pasti di bawah dari 10 orang. Berkurangnya pasukan ini dikarenakan beberapa hal, pertama adalah tidak mempunyai keturunan karena pasukan ini bersifat turun temurun. Kedua yang bersangkutan meninggal dengan membawa pakaian simbol pasukan macan yang disebut “Kantong Macan”. Pernah satu kejadian seekor macan di kepung dan diburu masyarakat kampung yang tidak mengerti, macan yang diburu kabur menghindar, hingga terperosok di sebuah sumur tua. sewaktu dilihat ke sumur ternyata bukan seekor macan, melainkan seorang manusia yang terkapar. Pada saat hendak diangkat orang tersebut sirna.

Pakaian yang bernama Kantong Macan ini sebesar ibu jari kaki, cara memakainya dengan memasukan kedua ibu jari tangan. Anehnya kantong macan tadi terus mengembang seperti elastis hingga masuk kedalam tubuh seperti pakaian. Ritual pemakaian harus hening dan sedikit penerangan. Kekuatan spiritual dari pakaian ini tergantung si empunya, bisa 50:50 (antara manusia:siluman) atau 20:80 dan sebaliknya. Semakin tinggi tingkatannya semakin tinggi kodrati manusianya.

Sejarah adanya pasukan ini bermula ketika Susuhunan Gunung Jati sebagai pendiri kratonan Cirebon, diberikan hadiah dari kakeknya yang penguasa Pajajaran (Prabu Siliwangi). Hadiah itu berupa sepasukan khusus Pajajaran yang terdiri atas 12 orang yang dapat beralih rupa sebagai macan. Sebagaimana pasukan pengamanan, metoda penggunaan Ring 1, 2 dst juga berlaku. Masing-masing ring terdiri atas 4 orang yang meliputi arah mata angin dengan titik pusatnya Kraton Pakungwati. Semakin dekat dengan pusat, semakin tinggi ilmunya. Istilah yang digunakan adalah KW (tidak tau apa maksudnya). Ada KW 1, KW 2 dst. Kabarnya satu KW pernah diberikan sultan Cirebon kepada Sultan Brunei, Hasanal Bolkiah.

KERETA SINGA BARONG

Kereta Singa Barong yang sampai kini masih terawat bagus itu, merupakan refleksi dari persahabatan dengan bangsa-bangsa. Wajah kereta ini merupakan perwujudan tiga binatang yang digabung menjadi satu, gajah dengan belalainya, bermahkotakan naga dan bertubuh hewan burak. Belalai gajah merupakan persahabatan dengan India yang beragama Hindu, kepala naga melambangkan persahabatan dengan Cina yang beragama Buddha, dan badan burak lengkap dengan sayapnya, melambangkan persahabatan dengan Mesir yang beragama Islam.


Kereta ini original buatan para ahli kereta Keraton Kacirebonan. Ini penggambaran bahwa pengetahuan teknologi orang Cirebon tempo dulu cukup tinggi. Ini sekaligus merupakan kelebihan Kerajaan Cirebon dibanding keraton-keraton sebelumnya atau sesudahnya, yang mengimpor kereta dari Inggris, Belanda, atau Perancis. Kereta ini cukup layak dalam segi teknologi kereta yang merupakan titihan (kendaraan) raja-raja.


Singa Barong telah mengenal teknologi suspensi dengan menyusun per(pegas) lempengan besi yang dilapisi karet-karet pada empat rodanya. Dengan teknologi suspensi ini, di samping kereta bisa merasa empuk, badan kereta juga bisa bergoyang-goyang ke belakang dan ke depan. Bergoyangnya tubuh kereta ke depan dan ke belakang bisa membuat sayap kereta bergerak-gerak. Itu sebabnya jika kereta ini berjalan, binatang bertubuh burak, berkepala gajah, dan bermahkota naga itu tampak seperti terbang. Terlihat megah ketika sang raja sedang berada dalam kereta itu.


Kereta ini dibuat oleh seorang arsitek kereta Panembahan Losari dan pemahatnya Ki Notoguna dari Kaliwulu. Pahatan pada kereta itu memang detail dan rumit. Mencirikan budaya khas tiga negara sahabat itu, pahatan wadasan dan megamendung mencirikan khas Cirebon, warna-warna ukiran yang merah-hijau mencitrakan khas Cina.


Tiga budaya (Buddha, Hindu, dan Islam) itu menjadi satu digambarkan prinsip trisula dalam belalai gajah. Tri berarti tiga, dan sula berarti tajam. Artinya, tiga kekuatan alam pikiran manusia yang tajam yaitu cipta, rasa, dan karsa. Cipta, rasa, dan karsa dimaksudkan sebagai kebijaksanaan berasal dari pengetahuan yang dijalankan dengan baik.


Kereta ini dulu digunakan oleh raja untuk kirab keliling Kota Cirebon tiap tanggal 1 Syura atau 1 Muharram dengan ditarik empat kerbau bule. Penggunaan kereta untuk kirab yang berlangsung setahun sekali itu berlangsung turun-temurun, mulai Panembahan Ratu Pakungwati I (1526-1649). Kereta ini baru berhenti digunakan untuk kirab tahun 1942, karena kondisinya yang sudah tidak memungkinkan lagi.


Kereta itu kini tersimpan di museum kereta yang terletak di sisi bangunan Taman Dewandaru Keraton Kasepuhan Cirebon. Kereta ini benar-benar tidak diperbolehkan lagi keluar, dalam acara apa pun, selain dibersihkan setiap bulan Syura atau Muharam. Bahkan, ketika dilakukan pameran antarkeraton se-Indonesia di Cirebon beberapa tahun lalu, yang dipamerkan adalah duplikat kereta yang bentuk maupun rupanya mirip.


Kereta Singa Barong menunjukkan ketulusan seorang raja seperti Panembahan Ratu Pakungwati I, raja keempat Kesultanan Cirebon itu. Karya untuk pribadi, seperti kereta itu, tidak direka dengan semata-mata imaji selera, tetapi juga didasarkan pada rasa. Rasa persahabatan dengan bangsa lain yang begitu melekat dihatinya dimanifestasikan dalam bentuk kereta itu.

KERETA PAKSI NAGA LIMAN









Karya agung Panembahan Losari atau Pangeran Manis yang dikerjakan oleh Ki Natagana alias Ki Gede Kaliwulu ini merupakan gabungan tiga hewan, paksi, naga dan liman. Paksi atau burung melambangkan alam atas atau langit. Naga menjadi lambang kekuatan alam bawah atau air. Sedangakan Liman atau gajah melambangkan alam tengah atau bumi. Belalai gajah yang erat melibat trisula membawa pesan bahwa raja/sultan harus memiliki cipta, rasa dan karsa setajam bilah trisula.

Kereta kencana Paksi Naga Liman adalah kereta kencana milik Keraton Kanoman. Dulu, kereta ini digunakan raja Keraton Kanoman untuk menghadiri upacara kebesaran. Selain itu, kereta ini juga digunakan untuk kirab pengantin keluarga Sultan Kanoman. Kereta tersebut diperkirakan dibuat tahun 1608 berdasarkan angka Jawa 1530 pada leher badan kereta yang merupakan angka tahun Saka. Sejak tahun 1930, kereta ini tidak digunakan dan disimpan di museum Keraton Kanoman; sedangkan yang sering dipakai pada perayaan-perayaan merupakan kereta tiruannya.

LAMBANG KOTA CIREBON

1. Daun Jati
2. Sembilan Buah Bintang
3. Lukisan Laut Berombak
4. Gambar Udang Rebon
5. Garis Bergerigi Sembilan
6. Perisai
7. Warna Dasar Kuning
8. Warna Putih
9. Pita Melingkari Perisai
10. Warna Hitam






MOTTO DAERAH :

Motto Daerah yang merupakan semboyan kerja adalah Gemah Ripah Loh Jinawi, yang bermakna : Gemah Ripah berarti negara jembar serta banyak rakyatnya; Loh Jinawi artinya subur makmur;

PENGERTIAN KESELURUHAN :

Gemah Ripah Loh Jinawi adalah perjuangan masyarakat sebagai bagian bangsa Indonesia bercita-cita menciptakan ketentraman/perdamaian, kesuburan, keadilan, kemakmuran, tata raharja serta mulia abadi.

LAMBANG DAERAH :

Lambang daerah yang dilukiskan dalam tata warna sebagimana tertuang dalam Peraturan Daerah No. 2 Tahun 1989 adalah sebagai berikut :

  1. Daun jati yang berwarna hijau tua, mengandung arti bahwa pada jaman dahulu di Cirebon ada seorang pemimpin para wali yang berbudi luhur dan bertahta serta disemayamkan di Gunung Jati dengan nama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, yang menyebarkan Agama Islam di tanah Jawa.
  2. Sembilan buah bintang berwarna putih, mengandung arti Walisanga. Kota Cirebon terkenal sebagai tempat berkumpulnya para wali untuk bermusyawarah dalam hubungannya sengan ilmu agama Islam, yaitu : 4 buah bintang di atas dasar kuning emas, menggambarkan ilmu Syari’at, Hakekat, Tarikat, dan Ma’rifat. 5 buah bintang di dalam gambar daun jati, menggambarkan rukun Islam, yaitu : Syahadat, Sholat, Puasa, Zakat dan Haji.
  3. Lukisan laut berombak berwarna biru, mengandung arti bahwa masyarakat Cirebon mempunyai kegiatan bekerja di daerah pantai (nelayan), dengan penuh keikhlasan (jalur putih) dalam menunaikan kewajibannya masing-masing ubtuk kepentingan bangsa dan negara.
  4. Gambar Udang rebon berwarna kuning emas, mengandung arti bahwa hasil laut telah memberikan kemakmuran kepada masyarakat Cirebon. Adapun udang rebon merupakan bahan baku untuk pembuatan terasi yang terkenal dari kota Cirebon.
  5. Garis bergerigi sembilan buah berwarna hitam, yang melukiskan benteng yang mendatar berpuncak sembilan buah, mengandung arti bahwa Kotamadya Cirebon bercita-cita melaksanakan pembangunan di segala bidang untukkemakmuran rakyat.
  6. Perisai yang bersudut lima, mengandung arti perjuangan dalam mempertahankan dan menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamirkan tanggal 17 agustus 1945.
  7. Warna dasar kuning emas pada perisai bagian atas, melambangkan kota Cirebon sebagai kota pantai yang bercita-cita melaksanakan pembangunan di segala bidang untuk mewujudkan masyarakat yang tertib, tenteram, adil dan makmur.
  8. Warna putih pada perisai bagian bawah, melambangkan Kota Cirebon letaknya di pinggir laut (kota pantai) yang siap sedia (jalur biru) memberikan hasil laut yang berguna dan berharga bagi kehidupan rakyatnya.
  9. Pita melingkari perisai dengan warna kuning, melambangkan persatuan, kebesaran dan kejayaan.
  10. Dasar lambang yang berwarna hitam, melambangkan keabadian.

LAMBANG KABUPATEN CIREBON

UNSUR LAMBANG :

Ø Perisai

Ø Bintang

Ø Padi

Ø Kapas

Ø Gunung

Ø Golok Cabang

Ø Gapura

Ø Laut

Ø Pita


PERISAI

· Sebagai pelindung, menggambarkan keadaan yang senantiasa aman, tentram dan sejahtera,

· sebagaimana ungkapan "Selamat Waluya Rahayu Jati"

BINTANG

Ø Melambangkan keluhuran cita-cita

Ø 9 (sembilan) Bintang melambangkan Walisanga (Babad Cirebon)

Ø Bintang bersudut 5, sehingga jika dikalikan dengan 9 (jumlah bintang) menjadi 45 menggambarkan tahun kemerdekaan Republik Indonesia.

Ø Warna binta kemerahan dengan garis pinggir putih sebagai lambang jiwa susila disertai keberanian.

P A D I

  • Melambangkan kesuburan di bidang pangan
  • 17 butir padi melambangkan tanggal kemerdekaan Republik Indonesia
  • Warna padi kuning melambangkan jiwa susila

K A P A S

  • Melambangkan kemakmuran di bidang sandang
  • 8 buah kapas melambangkan bulan kemerdekaan Republik Indonesia
  • Warna putih kapas melambangkan jiwa suci, berperilaku adil dan jujur.

GUNUNG

  • Melambangkan keagungan, kebesaran dan keluhuran
  • Warna biru muda melambangkan jiwa dan berpandangan luas

GOLOK CABANG

  • Melambangkan keampuhan dan keteguhan semangat untuk mendobrak kebatilan dan kedholiman.
  • Warna hitam dengan pamor kuning melambangkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta kesusilaan.

GAPURA

Gambar gapura yang tegak, kokoh dan terbuka bersusun 5 sap berwarna merah bata, dengan garis-garis putih terletak diantara gunung dan laut melambangkan :

  • Daerah sevagai pusat penyebaran agama Islam dengan 5 rukun Islam-Nya
  • Daerah yang subur makmur gemah ripah lohjinawi
  • Ciri khasmasyarakat yang berbudaya tinggi, berjiwa gotong-royong dan kokoh menghadapi tantangan dan rintangan.
  • Kepribadian masyarakat daerah yang terbuka ramah serta penuh toleransi.

L A U T

  • Laut berwarna biru melambangkan kelapangan dada, berperasaan halus, rendah hati dan berjiwa besar.
  • 5 (lima) buah gelombang melambkan dinamika semangat masyarakat dalam rangka mengamankan dan mengamalkan Pancasila.

P I T A

  • Semboyan "Rame ing Gawe Suci ing Pamrih" sebagaimana motto kesatria yang giat bekerja keras dengan harapan yang suci.
  • Warna dasar kuning dibelakangi coklat berati keluhuran budi dan berjiwa susila disertai keberanian.
  • Wrana tulisan hitam melambangkan keteguhan Iman.

Jumat, 09 Juli 2010

Masjid Agung Sang Cipta Rasa

Masjid Agung Sang Cipta Rasa merupakan masjid tertua di Cirebon. Masjid ini terletak di sebelah barat alun-alun Keraton Kasepuhan Cirebon dan dibangun sekitar tahun 1480 M. Wali Songo berperan besar terhadap pembangunan masjid ini. Sunan Gunung Jati yang bertindak sebagai ketua pembangunan masjid ini menunjuk Sunan Kalijaga sebagai arsiteknya.

Nama masjid ini sendiri diambil dari kata “sang” yang artinya keagungan, “cipta” yang artinya dibangun, dan “rasa” yang artinya digunakan. Pembangunan masjid ini melibatkan 500 pekerja dari Demak, Majapahit, dan Cirebon sendiri. Selain itu, yang cukup menarik, didatangkan Raden Sepat (Raden Sepet). Raden Sepat merupakan arsitek Majapahit yang menjadi tahanan perang Demak-Majapahit. Raden Sepat didatangkan dari Demak. Tindakan ini dilakukan oleh Demak sebagai imbalan kepada Cirebon karena telah membantu mengirim pasukan dalam penyerangan ke Majapahit.

Raden Sepat merancang ruang utama masjid berbentuk bujur sangkar dengan luas 400 meter persegi. Tempat imam menghadap barat dengan tingkat kemiringan 30 derajat arah barat laut. Intinya, masjid ini mempunyai lima ruangan, yaitu satu ruangan utama, tiga serambi, dan satu ruang belakang. Pada ruang utama terdapat sembilan pintu. Sembilan pintu ini melambangkan Wali Songo. Di bagian mihrab terdapat ukiran berbentuk bunga teratai yang dibuat oleh Sunan Kalijaga. Di bagian mihrab juga terdapat ubin yang bertanda khusus yang melambangkan tiga ajaran pokok agama, yaitu iman, islam, dan ihsan. Di masjid ini juga terdapat tempat wudhu yang airnya tak pernah kering dan sumur zam-zam yang ramai dikunjungi orang kala Ramadan tiba.

Bagian atas masjid disangga oleh empat pilar yang dibuat dari Tatal, yaitu pecahan kayu kecil-kecil yang disatukan sehingga kuat untuk menjadi satu tiang utama. tiang tatal (saka tatal) ini dibuat oleh Sunan Kalijaga. Saka tatal melambangkan kesatuan atau kegotong-royongan. Dari beberapa sudut pandang, gaya bangunan masjid sedikit menyerupai gaya bangunan tradisi sebelum Islam. Gaya bangunan dan beberapa ukiran yang menunjukkan kelanjutan tradisi sebelum Islam salah satunya bertujuan untuk menarik perhatian masyarakat yang belum masuk Islam atau yang baru saja masuk Islam sehingga mereka senang mengunjungi masjid yang gayanya masih mengingatkan unsur bangunan candi.

Keunikan lain dari masjid ini adalah tidak mempunyai kubah. Tidak adanya kubah di Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini diawali oleh cerita kumandang adzan pitu (adzan tujuh). Adzan tujuh atau dikenal dengan sebutan adzan pitu berawal sejak masa awal perkembangan Islam di Cirebon. Konon di Masjid Agung Sang Cipta Rasa dahulu ada musibah yang menyebabkan tiga orang muadzin tewas berturut-turut secara misterius. Ketika masjid ini didirikan, memang masyarakatnya sebagian besar belum memeluk agama Islam. Mereka menolak pembangunan masjid ini. Penolakan itu diwujudkan melalui kekuatan sihir yang menyebabkan kematian misterius tiga muadzin masjid ini. Banyak warga yang resah karena masalah ini. Akhirnya para wali meminta petunjuk Allah atas masalah yang terjadi. Para wali menganggap ada satu kekuatan yang menolak Islam berkembang di daerah Cirebon. Sunan Kalijaga mendapat petunjuk untuk segera mengumandangkan adzan yang diserukan oleh tujuh orang muadzin sebelum sholat. Pada saat akan melaksanakan shalat Subuh, adzan pitu (tujuh) dikumandangkan. Bersamaan dengan itu, dentuman besar terdengar dari kubah masjid. Seketika binasalah kekuatan gaib yang disebarkan oleh makhluk halus bernama Menjangan Wulung. Ternyata selama ini Menjangan Wulung bertengger di atas kubah tersebut. Setelah Menjangan Wulung dapat dikalahkan, pemiliknya masuk Islam.

Menurut cerita, karena ledakan dahsyat tersebut, kubah masjid terlempar ke Banten. Itu sebabnya mengapa hingga saat ini Majid Agung Sang Cipta Rasa tidak mempunyai kubah sedangkan Masjid Agung Banten memiliki dua kubah. Sampai sekarang tradisi adzan pitu masih dilaksanakan. Kalau dahulu adzan pitu itu dikumandangkan ketika shalat Subuh, saat ini adzan pitu dikumandangkan pada saat shalat Jumat, oleh tujuh orang dengan berpakaian serba putih.

Taman Kera Kalijaga

Situs ini terletak di wilayah Kelurahan Kalijaga, kecamatan Harjamukti. Dari terminal bis Harjamukti jaraknya hanya berkisar 500 meter kearah Selatan. Situs ini disebut juga dan atau dikenal sebagai taman kera Kalijaga, karena disitus ini terdapat banyak sekali kera yang telah beradaptasi dengan pengunjungnya. Tradisi meyakini bahwa kera-kera tersebut berasal dari jelmaan pada pengikut Sunan Kalijaga yang tidak mematuhi ajaran Rosulullah. Uniknya kera-kera tersebut seakan-akan mengerti akan batas wilayah mereka. Kera-kera dari kelompok selatan tidak mau membaur dengan kera-kera dari kelompok Utara dan begitu pula sebaliknya. Pada waktu-waktu tertentu, merekapun terlibat dalam tawuran. Mereka berteriak-teriak seakan-akan saling mengejek lalu baku hantam dan baku gigitpun terjadi. Tidak jarang perkelahiran antar kelompok ini dapat menimbulkan kematian yang tragis.

Yang lebih unik lagi pada saat perebutan kekuasaan untuk menduduki status atau tampuk pimpinan. Kera-kera senior yang sudah merasa pantas menjadi pemimpin. (tradisi menyebutnya dengan mandor) akan berpuasa beberapa hari. Setelah berpuasa, barulah mereka maju ke arena pertarungan. Peristiwa ini biasanya terjadi tiga tahun atau lima tahun sekali atau ketika pemimpin mereka yang lama mati. Peristiwa inipun dapat diaksikan oleh pengunjung yang kebetulan berada disitu. Dalam peristiwa itu petarung yang menang langsung akan menjadi pemimpin mereka.

Obyek Wisata Plangon

Tak jauh dari Kota Cirebon, kurang lebih 5 kilometer sebelah barat kota Cirebon, kita bisa singgah di obyek wisata yang berbeda dari obyek-obyek wisata lainnya di kota Cirebon. Obyek wisata ini merupakan perpaduan antara nilai-nilai sejarah, kesejukan alam dan adanya komunitas monyet dengan jumlah lumayan banyak di tempat tersebut. Dengan potensi tersebut, tempat ini sangat layak untuk dijadikan salah satu tujuan wisata di Cirebon.Tepatnya, lokasi ini berada di desa Babakan, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon.

Plangon sendiri berasal dari kata tegal klangenan yang berarti sebuah tempat atau bukit untuk menenangkan diri. Alkisah sekitar 4 abad yang silam ada dua orang pangeran yang bernama Pangeran Panjunan dan Pangeran Kajaksan mencari tempat yang tenang untuk memecahkan permasalahan-permasalahan kehidupan yang sedang dihadapi. Akhirnya kedua orang tersebut menemukan sebuah bukit yang terletak di sebelah barat kota Cirebon yang dianggap sebagai tempat yang paling cocok untuk melaksanakan maksud tersebut. Kedua orang pangeran yang konon masih keturunan dari Bagdad naik ke atas bukit. Dalam perjalanan ke atas bukit, kedua Pangeran itu dihadang oleh penjaga hutan Plangon yang bernama Pangeran Arya Jumeneng. Kedua pangeran dari Bagdad itu dapat memenangkan pertarungan, dan akhirnya ketika sampai di atas bukit kedua Pangeran itu membuat tempat peristirahatan, yang akhirnya sampai sekarang menjadi tempat makam kedua Pangeran tersebut.

Memang bagi para pengunjung yang baru berkunjung ke sini, kesan seram memang terasa. Selain karena memang hutannya yang cukup lebat, juga setiap gerak kita akan diikuti oleh monyet-monyet yang terkadang sedikit jahil. Untuk itu, ketika naik bukit , pawang setempat setidaknya menyertai kita untuk membantu jikalau monyet-monyet tersebut menjadi nakal terhadap para pengunjung. Untuk sampai ke puncak bukit Plangon kita harus menaiki banyak tangga , tidak ada yang tahu tentang jumlah tangga tersebut, bahkan pawangnya sendiri. Tapi dengan berjalan santai kita memerlukan waktu setengah jam untuk sampai puncak Plangon.

Memasuki tangga-tangga pertama, puluhan monyet sudah mulai mengikuti kita, ada yang sekedar mengikuti dan ada yang meminta makanan. Untuk itu para pengunjung disarankan membawa makanan, seperti kacang-kacangan, yang akan kita berikan kepada monyet-monyet tersebut. Setelah beberapa puluh tangga, pawang Plangon memberikan penjelasan,"bahwa di hutan ini ada 6 kerajaan monyet, dimana masing-masing wilayah dipimpin oleh satu jawara monyet". Wilayah satu adalah wilayah paling bawah, yang dipimpin oleh si Jefri, wilayah dua sampai enam adalah semakin ke atas sampai puncak, yang dipimpin oleh masing-masing jawara monyet yaitu, Si Acing, Si Bondol, Si Werman, Si Mandor dan Si Swing.
Tidak ada yang tahu pasti, darimana asal monyet tersebut, apakah memang sudah ada dari dulunya, atau hewan peliharaan Pangeran Panjunan dan Pangeran Kajaksan. Yang jelas, monyet tersebut berada di hutan Plangon dan berkembang biak dengan baik. Tapi memang ada beberapa hal, yang menurut penduduk sekitar adalah aneh. anehnya, ada hari-hari tertentu dimana monyet-monyet tersebut tidak turun ke bawah, tapi terus bersembunyi di pohon. hari-hari tersebut diantaranya jatuh pada tanggal satu muharam. Pernah suatu kali dicoba, disepanjang tangga naik ke puncak ditebarkan ratusan makanan pada tanggal satu Muharram, ternyata tidak ada satupun monyet yang mengambil makanan tersebut. Bandingkan dengan hari-hari lain, jangankan ditaruh ditanah, masih dipegang ditangan saja, makanan yang dibawa bisa diserobot oleh monyet-monyet tersebut.

Akhirnya setelah sampai di puncak bukit, kita bisa melihat makam kedua Pangeran tersebut, dengan tanah sekitar makam yang datar. Bangunan dengan luas kurang lebih 100 meter persegi tersebut, terlihat banyak ditumbuhi lumut karena umurnya yang sudah sangat tua. Makam tersebut terkunci, karena pada hari-hari tertentu saja dibuka. Ditengarai, tanah datar sekitar makam adalah tempat berkumpulnya para murid kedua Pangeran tersebut, dimana Sang Pangeran memberikan wejangan-wejangannya. Sembari melepas lelah, kita bisa duduk-duduk didepan makam, sambil menikmati kesejukan dan keasrian alam sekitar, sambil terus ditemani oleh monyet-monyet yang terus menguntiti kita.

Makam Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari sembilan orang penyebar agama Islam terkenal di Pulau Jawa yang dikenal dengan sebutan Wali Sanga. Kehidupannya selain sebagai pemimpin spriritual, sufi, mubaligh dan dai pada jamannya juga sebagai pemimpin rakyat karena beliau menjadi raja di Kasultanan Cirebon, bahkan sebagai sultan pertama Kasultanan Cirebon yang semula bernama Keraton Pakungwati. Memasuki kompleks pemakaman anda akan melihat Balemangu Majapahit yang berbentuk bale-bale berundak yang merupakan hadiah dari Demak sewaktu perkawinan Sunan Gunung Djati dengan Nyi Mas Tepasari, putri dari Ki Ageng Tepasan, salah seorang pembesar Majapahit. Masuk lebih kedalam anda akan melihat Balemangu Padjadjaran, sebuah bale-bale besar hadiah dari Prabu Siliwangi sebagai tanda penghargaan pada waktu penobatan Syarif Hidayatullah sebagai Sultan Kasultanan Pakungwati (cikal bakal kraton di Cirebon).

Makam Sunan Gunung Jati yang terletak di bukit Gunung Sembung hanya boleh dimasuki oleh keluarga Kraton sebagai keturunannya selain petugas harian yang merawat sebagai Juru Kunci-nya. Selain dari orang-orang yang disebutkan itu tidak ada yang diperkenankan untuk memasuki makam Sunan Gunung Jati. Alasannya antara lain adalah begitu banyaknya benda-benda berharga yang perlu dijaga seperti keramik-keramik atau benda-benda porselen lainnya yang menempel ditembok-tembok dan guci-guci yang dipajang sepanjang jalan makam. Keramik-keramik yang menempel ditembok bangunan makam konon dibawa oleh istri Sunan Gunung Djati yang berasal dari Cina, yaitu Putri Ong Tien. Banyak keramik yang masih sangat baik kondisinya, warna dan design-nya sangat menarik. Sehingga dikhawatirkan apabila pengunjung bebas keluar-masuk seperti pada makam-makam wali lainnya maka barang-barang itu ada kemungkinan hilang atau rusak.

Ada 9 pintu yang terdapat dalam Makam Sunan Gunung Jati, yaitu
1)Pintu Gapura,
2)Pintu Krapyak,
3)Pintu Pasujudan,
4)Pintu Ratnakomala,
5)Pintu Jinem,
6)Pintu Rararoga,
7)Pintu Kaca,
8)Pintu Bacem dan
9)Pintu Teratai.
Para pengunjung atau peziarah hanya diperkenankan masuk sampai di pintu ke-5 saja.

Para peziarah di Makam Sunan Gunung Jati hanya diperkenankan sampai dibatas pintu serambi muka yang pada waktu-waktu tertentu dibuka dan dijaga selama beberapa menit kalau-kalau ada yang ingin menerobos masuk. Dari pintu yang diberi nama Selamat Tangkep itu terlihat puluhan anak tangga menuju Makam Sunan Gunung Jati. Para peziarah umum diharuskan masuk melalui gapura sebelah Timur dan langsung masuk pintu serambi muka untuk berpamit kepada salah seorang Juru Kunci yang bertugas. Setelah diijinkan maka peziarah umum dapat menuju ke pintu barat yaitu ruang depan Pintu Pasujudan.

Uniknya didalam kompleks makam Sunan Gunung Jati terdapat kompleks makam warga Tionghoa dibagian barat serambi muka yang dibatasi oleh pintu yang bernama Pintu Mergu. Lokasinya disendirikan dengan alasan agar peziarah yang memiliki ritual ziarah tersendiri seperti warga Tionghoa tidak akan terganggu dengan ritual ziarah pengunjung makam.Makam Sunan Gunung Jati dibersihkan tiga kali seminggu dan selalu diperbaharui dengan rangkaian bunga segar oleh Juru Kunci yang bertugas. Penggantian bunga dilakukan setiap hari Senin, Kamis dan Jumat. Pada hari Senin dan Kamis petugas akan masuk dari pintu yang disebut dapur Pesambangan, sedangkan pada hari Jumat petugas akan masuk dari pintu tempat masuknya peziarah disiang hari.

Jumlah petugas Makam Sunan Gunung Jati seluruhnya ada 108 orang yang terbagi dalam 9 kelompok masing-masing 12 orang berjaga-jaga secara bergiliran selama 15 hari yang diketuai oleh seorang Bekel Sepuh dan Bekel Anom (merupakan tambahan setelah Kraton Cirebon dipecah menjadi Kraton Kasepuhan dan Kanoman). Mereka yang mengemban tugas tersebut umumnya karena meneruskan tugas dari ayah atau saudara yang tidak mempunyai anak atau bisa juga karena mendapat kepercayaan dari yang berhak. Pada saat mereka diberi amanat mengemban tugas itupun ada serangkaian upacara atau selametan yang harus dilakukan oleh masing-masing orang. Seluruh petugas makam termasuk para Bekel dipimpin oleh seorang Jeneng yang diangkat oleh Sultan.

Adapun riwayat dibalik jumlah 108 berawal dari Pemerintahan Sunan Gunung Jati di Kraton Pakungwati yang pada suatu hari menangkap perahu yang terdampar dengan seluruh penumpang berjumlah 108 orang seluruhnya berasal dari Keling (Kalingga) dan berada dibawah pimpinan Adipati Keling. Orang-orang Keling ini kemudian menyerahkan diri dan mengabdi kepada Sunan Gunung Jati dan dipercaya untuk menetap dan menjaga daerah sekitar pemakaman sampai ke anak cucu. Sebagian masyarakat yang bermukim disekitar kompleks makam adalah keturunan orang-orang Keling tersebut. Oleh karena itu ke-12 orang yang bertugas tersebut mengemban tugas sesuai dengan jenjangnya sebagai awak perahu nelayan seperti juru mudi, pejangkaran dan lain sebagainya.

Selain Sultan dan Juru Kunci yang ditunjuk maka tidak ada lagi orang yang diperkenankan masuk ke makam Sunan Gunung Jati. Konon di sekitar makam Sunan Gunung Jati terdapat pasir Malela yang dibawa langsung dari Mekkah oleh Pangeran Cakrabuana. Pasir ini tidak diperbolehkan dibawa keluar dari kompleks pemakaman. Para Juru Kunci sendiri diharuskan membersihkan kaki-nya sebelum dan sesudah dari makam agar tidak ada pasir yang terbawa keluar. Pelarangan ini sesuai dengan amanat dari Pangeran Cakrabuana sendiri, mungkin karena pada jaman dahulu upaya untuk membawa Pasir Malela dari Mekkah ke kompleks pemakaman teramat berat dan sulit.

Tak jauh dari bangunan makam terdapat masjid yang diberi nama Masjid Sang Saka Ratu atau Dok Jumeneng yang konon dulunya digunakan oleh orang-orang Keling yang pernah memberontak pada Sunan Gunung Jati. Didalam masjid kita bisa melihat Al-Quran yang berusia ratusan tahun dan dibuat dengan tulisan tangan (bukan cetakan mesin).

Ada beberapa sumur disekitar bangunan masjid, yaitu Sumur Kemulyaan, Sumur Djati, Sumur Kanoman dan Sumur Kasepuhan. Masjid ini sendiri memiliki 12 orang Kaum yang pengangkatannya melalui prosedur Kesultanan dengan segala tata cara dan tradisi lama yang masih dijalankan. Ke-12 orang tersebut terdiri dari 5 orang Pemelihara, 4 orang Muadzin, 3 orang Khotib ditambah dengan seorang penghulu atau Imam. Kecuali penghulu mereka bertugas secara bergilir setiap minggu dengan formasi 1 orang pemelihara, 1 orang Muadzin dan 1 orang Khotib.

Ada lagi legenda para wali yang berhubungan dengan Sumur Jalatunda yang berasal dari jala yang ditinggalkan Sunan Kalijaga saat dirinya diperintahkan mencari sumber mata air untuk berwudhu-nya para wali yang pada saat itu sedang mengadakan pertemuan. Sumur Jalatunda ini dikenal dengan Zam-zam-nya Cirebon. Mengunjungi kompleks pemakaman sunan Gunung Jati sebetulnya tidak terlalu sulit. Lokasi-nya tidak jauh dari kota Cirebon. Jalan masuknya juga bisa dilalui oleh mobil dan sudah tersedia lahan parkir yang cukup luas.

Yang sangat disayangkan adalah banyaknya penduduk setempat yang meminta donasi tidak resmi kepada pengunjung atau peziarah yang datang ke makam. Dari mereka yang meminta dengan suka rela sampai dengan mereka yang menggebrak meja tempat diletakkannya kotak donasi untuk menakut-nakuti pengunjung apabila mereka menolak untuk membayar. Yang meminta donasi tidak hanya orang dewasa, melainkan anak-anak balita sampai kaum tua renta juga setia mengikuti bahkan ada yang sambil menarik-narik baju pengunjung. Macam-macam alasan yang digunakan, dari donasi untuk pemeliharaan makam sampai sumbangan sebagai ‘pembuka pintu’. Kalau anda datang bersama dengan rombongan peziarah, bersiaplah menghadapi puluhan peminta sumbangan yang sudah berbaris panjang dari parkiran anda masuk sampai ke pintu gerbang peziarah.

Sangat mengesalkan sebetulnya. Pemandu memberitahu agar kami ‘jangan memulai’ memberikan donasi setiap kali diminta karena hanya akan membuat peminta donasi lain akan memburu. Walaupun kami sudah berusaha membatasi jumlah donasi yang kami keluarkan dengan terus menerus mengatakan “tidak” tetap saja kami harus merogoh kantong beberapa kali. Upaya menertibkan konon sudah pernah ada. Sultan pernah memerintahkan mereka untuk berhenti meminta donasi tidak resmi tersebut, namun seminggu-dua minggu kemudian timbul kembali.

Alangkah baiknya apabila pihak Kraton yang berwenang atau pemerintah daerah mulai memikirkan cara untuk menertibkan mereka karena bisa jadi akan merusak citra tempat pemakaman sunan Gunung Jati ini dan umat muslim pada umumnya. Aktivitas meminta-minta dengan paksa yang dilakukan kaum dewasa dan orang tua akan memberikan contoh tidak baik bagi anak kecil warga sekitar. Tak heran apabila mereka nantinya juga menjadi peminta-minta. Walaupun Sunan Gunung Jati pernah bertutur “Ingsun titip tajug lan fakir-miskin” yang artinya “Aku titipkan masjid/musholla dan fakir miskin”.

Tari Topeng



















Tari Topeng Cirebon, adalah salah satu tari/cerita tradisional yang masih hidup di kota Cirebon dan sekitarnya.
Secara garis besar tari Topeng Cirebon ini terdiri atas :
1. Tari yang bersifat raksasa ( Danawa )
2. Tari yang bersifat krodan ( gagah ) misalnya : Rahwana, Kangsa
3. Tari Tumenggungan
4. Tari Panji

Dari keempat tari topeng ini dapat dikembangkan secara tradisi, yang memiliki khas sendiri seperti :
1. Tari Panji
2. Tari Samba
3. Tari Tumenggung
4. Tari Rumyang
5. Tari Kelana / Rahwana
6. Tari Jingga Anom
7. Tari Pentul
8. Tari Tembem

Akan tetapi yang sampai saat ini dikenal adalah Tari Panji, Tari Samba, Tari Tumenggung, Tari Rumyang dan Tari Kelana / Rahwana. Tari Topeng ini sesungguhnya secara filsafat menggambarkan perwatakan kehidupan manusia.
1. Tari Panji : menggambarkan manusia yang suci layaknya seorang prabu, pemimpin yang arif, adil dan bijaksana dan selalu mengerjakan perbuatan yang baik.
2. Tari Samba : menggambarkan gemerlapnya keduniawian, harta benda, wanita, bermewah - mewah, glamour. Oleh karena itu tarian ini kelihatan lincah dan kaya akan gerak dan irama.
3. Tari Tumenggung : adalah gambaran dari sikap kehidupan prajurit dan kepahlawanan yang gagah berani. penuh dedikasi, loyalitas dan tanggung jawab yang tinggi.
4. Tari Rumyang :
5. Tari Kelana / Rahwana : menggambarkan angkara murka, watak manusia yang serakah dan menghalalkan segala cara demi mewujudkan ambisi pribadinya. Namun dia juga adalah pemimpin yang kaya raya, memiliki keduniawian yang tangguh.
6. Tari Jingga Anom
7. Tari Pentul
8. Tari Temben

Melihat tradisi seni tari topeng, pengamatan kita tidak bisa lepas dengan perlengkapan yang dipakai seperti tersebut di bawah ini :
1. Kedok / Topeng yang terbuat dari kayu dan cara memakainya dengan menggigit bantalan karet pada bagian dalam nya.
2. Sobra sebagai penutup kepala yang dilengkapi dengan jamangan dan dua buah sumping.
3. Baju yang berlengan.
4. Dasi yang di lengkapi dengan peniti ukon (mata uang jaman dulu )
5. Mongkron yang terbuat dari batik lokoan.
6. Ikat pinggang stagen yang dilengkapi badong.
7. Celana sebatas bawah lutut.
8. Sampur / selendang
9. Gelang tangan
10. Keris
11. Kaos kaki putih sampai lutut
12. Kain batik
13. Kadang - kadang dilengkapi dengan boro (epek)
Selain kelengkapan busana tersebut di atas kadang - kadang untuk Tari Topeng Tumenggung menggunakan tambahan berupa tutup kepala kain ikat dan di lengkapi dengan peci dan kaca mata.

Tari topeng diringan dengan musik gamelan, biasanya berlaras slendro atau prawa yang terdiri dari :
1. Satu pangkon bonang
2. Satu pangkon saron
3. Satu pangkon titil
4. Satu pangkon kenong
5. Satu pangkon jengglong
6. Satu pangkon ketuk
7. Satu pangkon klenang
8. Dua buah kemanak
9. Tiga buah gong (kiwul, sabet dan telon)
10. Seperangkat kecrek
11. Seperangkat kendang yang terdiri dari : kempyang, gendung, ketiping. Semuanya dimainkan dengan alat pemukul, kecuali untuk Tari Topeng Tumenngung kendang dimainkan secara biasa yaitu di tepak/dipukul dengan tangan.

Lagu - lagu yang mengiringi adalah :
• Kembangsungsang untuk Topeng Panji
• Kembangkapas untuk Topeng Pemindo
• Rumyang untuk Topeng Rumyang
• Tumenggung untuk Topeng Tumenggung
• Barlen untuk Topeng Jinggaanom
• Gonjing untuk Topeng Kelana

Juga dilengkapi dengan lagu tratagan dan lagu wayang perang pada saat perang antara Tumenggung dan Jinggaanom. Ada baiknya untuk menambah pengetahuan kita bersama untuk mengetahui macam - macam bentuk sobra :
• Sobra sulu selembar
• Sobra jeruk sejajar
• Sobra Gedang searip
• Sobra Merang segedeng

Dengan mengetahui perjalanan seni tari tradisional di Cirebon khususnya, jelaslah kita dituntut untuk berupaya agar seni ini tidak habis dimakan jaman dan ditinggalkan oleh generasi yang akan datang.

Musik Tarling

Tarling merupakan kesenian khas dari wilayah pesisir timur laut jawa barat (indramayu-cirebon dan sekitarnya). Bentuk kesenian ini pada dasarnya adalah pertunjukan musik, namun disertai dengan drama pendek. Nama "tarling" diambil dari singkatan dua alat musik dominan: gitar akuistik dan suling. Selain kedua instrumen ini, terdapat pula sejumlah perkusi, saron, kempul, gong dan dangdut organ tunggal.

Awal perkembangan tarling tidak jelas. Namun demikian, pada tahun 1950-an musik tarling telah disiarkan oleh Radio RRI cirebon dalam acara "irama kota udang", dan menjadikannya populer. Pada tahun 1960-an pertunjukan ini sudah dinamakan "tarling atau dangdut organ tunggal" dan mulai masuk unsur-unsur drama.

Semenjak meluasnya popularitas dangdut pada tahun 1980-an, kesenian tarling terdesak. Ini memaksa para seniman tarling memasukkan unsur-unsur dangdut dalam pertunjukan dangdut organ mereka, dan hasil percampuran ini dijuluki tarling-dangdut organ (atau tarlingdut). Selanjutnya, akibat tuntutan konsumennya sendiri, lagu-lagu tarling di campur dengan perangkat musik elektronik sehingga terbentuk grup-grup organ tunggal tarling organ tunggal. Pada saat ini, tarling sudah sangat jarang dipertunjukkan dan tidak lagi populer. Tarling dangdut lebih tepat disebut dangdut cirebon.

Minggu, 30 Mei 2010

ADZAN PITU

Cirebon -Selain arsitektur bangunannya yang khas, bercorak arsitektur Hindu, Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon juga mempunyai keunikan tersendiri. Setiap hendak salat Jumat, 7 orang muazin akan mengumandangkan adzan secara bersamaan. Kumandang suara azan oleh tujuh orang muazin dikenal dengan ‘Azan Pitu’. Tradisi Azan Pitu, telah dilakukan secara turun temurun sejak lima ratus tahun lalu. Dahulu, azan pitu dilantunkan setiap waktu salat, namun kini hanya dilakukan pada saat salat Jumat saja, pada azan pertama.

Tidak ada ada naskah tertulis yang bisa dijadikan acuan sejarah asal usul dan alasan Sunan Kalijaga memulai tradisi azan pitu. Satu-satunya sumber resmi sejarah, hanyalah penuturan turun temurun dari pengurus masjid. Konon, menurut salah seorang pengurus masjid, tradisi azan oleh 7 muazin berawal dari adanya wabah penyakit yang melanda jemaah masjid ini di awal pendiriannya. Tradisi 7 azan ini diwariskan oleh Sunan Kalijaga saat mengusir wabah tersebut. “Namanya Satria Menjangan Wulung" semacam Leak kalau di Bali, suatu wabah penyakit yang dikirimkan orang yang tidak senang kepada masjid ini. Wabah tersebut membuat beberapa jamaah masjid terkena penyakit aneh dan akhirnya meninggal. Untuk mengatasi ini, Sunan Kalijaga, bermunajat dan memohon perlindungan kepada Allah SWT. Hingga suatu ketika, Sunan Kalijaga meminta 7 orang untuk mengumandangkan azan dalam waktu bersamaan di dalam masjid tersebut. Alhasil, wabah penyakit ‘Satria Menjangan Wulung’ pergi dan terpental dari masjid bersamaan dengan meledaknya kubah masjid. Namun, sayangnya satu dari tujuh amir masjid tersebut meninggal. Menurut cerita, kubah masjid terbang dan mendarat di atas kubah Masjid Agung Banten. Sedangkan ‘Satria Menjangan Wulung’ terpental hingga Indramayu menjadi labu hitam. “Makanya ada larangan buat kita untuk memakan labu hitam".

Menurut cerita, ketika awal pembangunan Masjid Agung Demak, Sunan Gunung Jati memohon izin untuk membuat pasangannya di Cirebon. Masjid Agung Demak mempunyai watak maskulin, sedangkan Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini mewakili watak feminin. Tidak seperti masjid-masjid wali pada umumnya yang mempunyai bentuk atap tajug (berbentuk piramid) bersusun dengan jumlah ganjil, Masjid Agung Sang Cipta Rasa mempunyai bentuk atap limasan dan di atasnya tidak dipasang momolo (mahkota masjid). Selain azan pitu, tradisi yang sampai saat ini masih dilestarikan yakni khotbah yang menggunakan bahasa Arab. Meski tidak dimengerti, namun jamaah tetap khidmat dan khusyuk mendengarkan khotbah.

Secara umum aktivitas di masjid, selalu ramai oleh peziarah ketika malam Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon. Biasanya orang datang untuk berzikir dan tirakatan malam. Beberapa orang percaya akan mendapatkan keberkahan jika melaksanakan ibadah di masjid wali ini.

Selasa, 25 Mei 2010

Situs Bersejarah Gua Sunyaragi

Sunyaragi adalah nama suatu Cagar Budaya Indonesia yang unik. Sunyaragi berlokasi di kelurahan Sunyaragi, Kesambi, Kota Cirebon dimana terdapat bangunan mirip candi yang disebut Gua Sunyaragi, atau Taman Air Sunyaragi, atau sering disebut sebagai Tamansari Sunyaragi. Nama "Sunyaragi" berasal dari kata "sunya" yang artinya adalah sepi dan "ragi" yang berarti raga, keduanya adalah bahasa Sansekerta. Tujuan utama didirikannya gua tersebut adalah sebagai tempat beristirahat dan meditasi para Sultan Cirebon dan keluarganya.
Gua Sunyaragi merupakan salah satu benda cagar budaya yang berada di Kota Cirebon dengan luas sekitar 15 hektar. Objek cagar budaya ini berada di sisi jalan by pass Brigjen Dharsono, Cirebon. Konstruksi dan komposisi bangunan situs ini merupakan sebuah taman air. Karena itu Gua Sunyaragi disebut taman air gua Sunyaragi. Pada zaman dahulu kompleks gua tersebut dikelilingi oleh danau yaitu Danau Jati. Lokasi dimana dulu terdapat Danau Jati saat ini sudah mengering dan dilalui jalan by pass Brigjen Dharsono, sungai Situngkul, lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Gas, Sunyaragi milik PLN, persawahan dan menjadi pemukiman penduduk. Selain itu di gua tersebut banyak terdapat air terjun buatan sebagai penghias, dan hiasan taman seperti Gajah, patung wanita Perawan Sunti, dan Patung Garuda. Gua Sunyaragi merupakan salah satu bagian dari keraton Pakungwati sekarang bernama keraton Kasepuhan.

Kompleks tamansari Sunyaragi ini terbagi menjadi dua bagian yaitu pesanggrahan dan bangunan gua. Bagian pesanggrahan dilengkapi dengan serambi, ruang tidur, kamar mandi, kamar rias, ruang ibadah dan dikelilingi oleh taman lengkap dengan kolam. Bangunan gua-gua berbentuk gunung-gunungan, dilengkapi terowongan penghubung bawah tanah dan saluran air. Bagian luar komplek aku bermotif batu karang dan awan. Pintu gerbang luar berbentuk candi bentar dan pintu dalamnya berbentuk paduraksa. Induk seluruh gua bernama Gua Peteng (Gua Gelap) yang digunakan untuk bersemadi. Selain itu ada Gua Pande Kemasan yang khusus digunakan untuk bengkel kerja pembuatan senjata sekaligus tempat penyimpanannya. Perbekalan dan makanan prajurit disimpan di Gua Pawon. Gua Pengawal yang berada di bagian bawah untuk tempat berjaga para pengawal. Saat Sultan menerima bawahan untuk bermufakat, digunakan Bangsal Jinem, akan tetapi kala Sultan beristirahat di Mande Beling. Sedang Gua Padang Ati (Hati Terang), khusus tempat bertapa para Sultan.

Walaupun berubah-ubah fungsinya menurut kehendak penguasa pada zamannya, secara garis besar Tamansari Sunyaragi adalah taman tempat para pembesar keraton dan prajurit keraton bertapa untuk meningkatkan ilmu kanuragan. Bagian-bagiannya terdiri dari 12 antara lain : (1)bangsal jinem, tempat sultan memberi wejangan sekaligus melihat prajurit berlatih; (2) goa pengawal, tempat berkumpul par apengawal sultan; (3) kompleks Mande Kemasan (sebagain hancur); (4) goa Pandekemasang, tempat membuat senjata tajam; (5) goa Simanyang, tempat pos penjagaan; (6) goa Langse, tempat bersantai; (7) goa peteng, tempat nyepi untuk kekebalan tubuh; (8) goa Arga Jumud, tempat orang penting keraton; (9) goa Padang Ati, tempat bersemedi; (10) goa Kelanggengan, tempat bersemedi agar langgeng jabatan; (11)goa Lawa, tempat khusus kelelawar; (12) goa pawon, dapur penyimpanan makanan.

Sejarah Pembangunan Gua Sunyaragi

Sejarah berdirinya gua Sunyaragi memiliki dua buah versi, yang pertama adalah berita lisan tentang sejarah berdirinya gua Sunyaragi yang disampaikan secara turun-temurun oleh para bangsawan Cirebon atau keturunan keraton. Versi tersebut lebih dikenal dengan sebutan versi Carub Kanda. Versi yang kedua adalah versi Caruban Nagari yaitu berdasarkan buku “Purwaka Caruban Nagari” tulisan tangan Pangeran Kararangen tahun 1720. Namun sejarah berdirinya gua Sunyaragi versi Caruban Nagari berdasarkan sumber tertulislah yang digunakan sebagai acuan para pemandu wisata gua Sunyaragi yaitu tahun 1703 Masehi untuk menerangkan tentang sejarah gua Sunyaragi karena sumber tertulis lebih memiliki bukti yang kuat daripada sumber-sumber lisan. Kompleks Sunyaragi dilahirkan lewat proses yang teramat panjang. Tempat ini beberapa kali mengalami perombakan dan perbaikan.

Menurut buku Purwaka Carabuna Nagari karya Pangeran Arya Carbon, Tamansari Gua Sunyaragi dibangun pada tahun 1703 M oleh Pangeran Kararangen. Pangeran Kararangen adalah nama lain dari Pangeran Arya Carbon. Namun menurut Caruban Kandha dan beberapa catatan dari Keraton Kasepuhan, Tamansari dibangun karena Pesanggrahan ”Giri Nur Sapta Rengga” berubah fungsi menjadi tempat pemakaman raja-raja Cirebon, yang sekarang dikenal sebagai Astana Gunung Jati. Terutama dihubungkan dengan perluasan Keraton Pakungwati (sekarang Keraton Kasepuhan Cirebon) yang terjadi pada tahun 1529 M, dengan pembangunan tembok keliling keraton, Siti Inggil dan lain-lain. Sebagai data perbandingan, Siti Inggil dibangun dengan ditandai candra sengkala ”Benteng Tinataan Bata” yang menunjuk angka tahun 1529 M. Di Tamansari Gua Sunyaragi ada sebuah taman Candrasengkala yang disebut ”Taman Bujengin Obahing Bumi” yang menunjuk angka tahun 1529. Di kedua tempat itu juga terdapat persamaan, yakni terdapat gapura ”Candi Bentar” yang sama besar bentuk dan penggarapannya. Pangeran Kararangen hanya membangun kompleks Gua Arga Jumut dan Mande Kemasan saja.

Dilihat dari gaya atau corak dan motif-motif ragam rias yang muncul serta pola-pola bangunan yang beraneka ragam dapat disimpulkan bahwa gaya arsitektur gua Sunyaragi merupakan hasil dari perpaduan antara gaya Indonesia klasik atau Hindu, gaya Cina atau Tiongkok kuno, gaya Timur Tengah atau Islam dan gaya Eropa. Gaya Indonesia klasik atau Hindu dapat terlihat pada beberapa bangunan berbentuk joglo. Misalnya, pada bangunan Bale Kambang, Mande Beling dan gedung Pesanggrahan, bentuk gapura dan beberapa buah patung seperti patung gajah dan patung manusia berkepala garuda yang dililit oleh ular. Seluruh ornamen bangunan yang ada menunjukkan adanya suatu sinkretsime budaya yang kuat yang berasal dari berbagai dunia. Namun, umumnya dipengaruhi oleh gaya arsitektur Indonesia Klasik atau Hindu. Gaya Cina terlihat pada [[ukiran] bunga seperti bentuk bunga persik, bunga matahari dan bunga teratai. Di beberapa tempat, dulu Gua Sunyaragi dihiasi berbagai ornamen keramik Cina di bagian luarnya. Keramik-keramik itu sudah lama hilang atau rusak sehingga tidak diketahui coraknya yang pasti. Penempatan [keramik|keramik-keramik] pada bangunan Mande Beling serta motif mega mendung seperti pada kompleks bangunan gua Arga Jumut memperlihatkan bahwa gua Sunyaragi mendapatkan pengaruh gaya arsitektur Cina. Selain itu ada pula kuburan Cina, kuburan tersebut bukanlah kuburan dari seseorang keturunan Cina melainkan merupakan sejenis monumen yang berfungsi sebagai tempat berdoa para keturunan pengiring-pengiring dan pengawal-pengawal Putri Cina yang bernama Ong Tien Nio atau Ratu Rara Sumanding yang merupakan istri dari Sunan Gunung Jati.

Sebagai peninggalan keraton yang dipimpin oleh Sultan yang beragama Islam, gua Sunyaragi dilengkapi pula oleh pola-pola arsitektur bergaya Islam atau Timur Tengah. Misalnya, relung-relung pada dinding beberapa bangunan, tanda-tanda kiblat pada tiap-tiap pasholatan atau musholla, adanya beberapa pawudlon atau tempat wudhu serta bentuk bangunan Bangsal Jinem yang menyerupai bentuk Kabah jika dilihat dari sisi belakang Bangsal Jinem. Hal tersebut menjelaskan bahwa gaya arsitektur gua Sunyaragi juga mendapat pengaruh dari Timur Tengah atau Islam. Gua Sunyaragi didirikan pada zaman penjajahan Belanda sehingga gaya arsitektur Belanda atau Eropa turut mempengaruhi gaya arsitektur gua Sunyaragi. Tanda tersebut dapat terlihat pada bentuk jendela yang tedapat pada bangunan Kaputren, bentuk tangga berputar pada gua Arga Jumut dan bentuk gedung Pesanggrahan. Secara visual, bangunan-bangunan di kompleks gua Sunyaragi lebih banyak memunculkan kesan sakral. Kesan sakral dapat terlihat dengan adanya tempat bertapa seperti pada gua Padang Ati dan gua Kelangenan, tempat sholat dan pawudon atau tempat untuk mengambil air wudhu, lorong yang menuju ke Arab dan Cina yang terletak di dalam kompleks gua Arga Jumut; dan lorong yang menuju ke Gunung Jati pada kompleks gua Peteng. Di depan pintu masuk gua Peteng terdapat patung Perawan Sunti. Menurut legenda masyarakat lokal, jika seorang gadis memegang patung tersebut maka ia akan susah untuk mendapatkan jodoh. Kesan sakral nampak pula pada bentuk bangunan Bangsal Jinem yang menyerupai bentuk Kabah jika dilihat dari sisi belakang Bangsal Jinem. Selain itu ada pula patung Haji Balela yang menyerupai patung Dewa Wisnu. Pada tahun 1997 pengelolaan gua Sunyaragi diserahkan oleh pemerintah kepada pihak keraton Kasepuhan. Hal tersebut sangat berdampak pada kondisi fisik gua Sunyaragi. Kurangnya biaya pemeliharaan menyebabkan lokasi wisata gua Sunyaragi lama kelamaan makin terbengkelai.

Tahun 1852 taman ini sempat diperbaiki karena pada tahun 1787 sempat dirusak Belanda. Saat itu, taman ini menjadi benteng pertahanan. Tan Sam Cay, seorang arsitek Cina, konon diminta Sultan Adiwijaya untuk memperbaikinya. Namun, arsitek Cina itu ditangkap dan dibunuh karena dianggap telah membocorkan rahasia gua Sunyaragi kepada Belanda. Karena itu, di kompleks Taman Sunyaragi juga terdapat patok bertulis ”Kuburan Cina”. Pemugaran Tamansari Gua Sunyaragi pernah dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1937-1938. Pelaksanaannya diserahkan kepada seorang petugas Dinas Kebudayaan Semarang. Namanya, Krisjman. Ia hanya memperkuat konstruksi aslinya dengan menambah tiang-tiang atau pilar bata penguat, terutama pada bagian atap lengkung. Namun terkadang ia juga menghilangkan bentuk aslinya, apabila dianggap membahayakan bangunan keseluruhan. Seperti terlihat di Gua Pengawal dan sayap kanan-kiri antara gedung Jinem dan Mande Beling. Pemugaran terakhir dilakukan Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Sejarah dan Purbakala, Direktorat Jenderal Kebudayaan, yang memugar Tamansari secara keseluruhan dari tahun 1976 hingga 1984. Sejak itu tak ada lagi aktivitas pemeliharan yang serius pada kompleks ini. Bangunan tua ini hingga kini masih ramai dikunjungi orang, karena letaknya persis di tepi jalan utama. Tempat parkir lumayan luas, taman bagian depan mendapat sentuhan baru untuk istirahat para wisatawan. Terdapat juga panggung budaya yang digunakan untuk pementasan kesenian Cirebon. Namun keadaan panggung budaya tersebut kini kurang terurus, penuh dengan tanaman liar. Kolam di kompleks Taman Sari pun kurang terurus dan airnya mengering.