Selamat Datang di http://gragecarita.blogspot.com, Mengenal Sejarah Cirebon, Situs Bersejarah, Seni dan Budaya Cirebon

Jumat, 09 Juli 2010

Masjid Agung Sang Cipta Rasa

Masjid Agung Sang Cipta Rasa merupakan masjid tertua di Cirebon. Masjid ini terletak di sebelah barat alun-alun Keraton Kasepuhan Cirebon dan dibangun sekitar tahun 1480 M. Wali Songo berperan besar terhadap pembangunan masjid ini. Sunan Gunung Jati yang bertindak sebagai ketua pembangunan masjid ini menunjuk Sunan Kalijaga sebagai arsiteknya.

Nama masjid ini sendiri diambil dari kata “sang” yang artinya keagungan, “cipta” yang artinya dibangun, dan “rasa” yang artinya digunakan. Pembangunan masjid ini melibatkan 500 pekerja dari Demak, Majapahit, dan Cirebon sendiri. Selain itu, yang cukup menarik, didatangkan Raden Sepat (Raden Sepet). Raden Sepat merupakan arsitek Majapahit yang menjadi tahanan perang Demak-Majapahit. Raden Sepat didatangkan dari Demak. Tindakan ini dilakukan oleh Demak sebagai imbalan kepada Cirebon karena telah membantu mengirim pasukan dalam penyerangan ke Majapahit.

Raden Sepat merancang ruang utama masjid berbentuk bujur sangkar dengan luas 400 meter persegi. Tempat imam menghadap barat dengan tingkat kemiringan 30 derajat arah barat laut. Intinya, masjid ini mempunyai lima ruangan, yaitu satu ruangan utama, tiga serambi, dan satu ruang belakang. Pada ruang utama terdapat sembilan pintu. Sembilan pintu ini melambangkan Wali Songo. Di bagian mihrab terdapat ukiran berbentuk bunga teratai yang dibuat oleh Sunan Kalijaga. Di bagian mihrab juga terdapat ubin yang bertanda khusus yang melambangkan tiga ajaran pokok agama, yaitu iman, islam, dan ihsan. Di masjid ini juga terdapat tempat wudhu yang airnya tak pernah kering dan sumur zam-zam yang ramai dikunjungi orang kala Ramadan tiba.

Bagian atas masjid disangga oleh empat pilar yang dibuat dari Tatal, yaitu pecahan kayu kecil-kecil yang disatukan sehingga kuat untuk menjadi satu tiang utama. tiang tatal (saka tatal) ini dibuat oleh Sunan Kalijaga. Saka tatal melambangkan kesatuan atau kegotong-royongan. Dari beberapa sudut pandang, gaya bangunan masjid sedikit menyerupai gaya bangunan tradisi sebelum Islam. Gaya bangunan dan beberapa ukiran yang menunjukkan kelanjutan tradisi sebelum Islam salah satunya bertujuan untuk menarik perhatian masyarakat yang belum masuk Islam atau yang baru saja masuk Islam sehingga mereka senang mengunjungi masjid yang gayanya masih mengingatkan unsur bangunan candi.

Keunikan lain dari masjid ini adalah tidak mempunyai kubah. Tidak adanya kubah di Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini diawali oleh cerita kumandang adzan pitu (adzan tujuh). Adzan tujuh atau dikenal dengan sebutan adzan pitu berawal sejak masa awal perkembangan Islam di Cirebon. Konon di Masjid Agung Sang Cipta Rasa dahulu ada musibah yang menyebabkan tiga orang muadzin tewas berturut-turut secara misterius. Ketika masjid ini didirikan, memang masyarakatnya sebagian besar belum memeluk agama Islam. Mereka menolak pembangunan masjid ini. Penolakan itu diwujudkan melalui kekuatan sihir yang menyebabkan kematian misterius tiga muadzin masjid ini. Banyak warga yang resah karena masalah ini. Akhirnya para wali meminta petunjuk Allah atas masalah yang terjadi. Para wali menganggap ada satu kekuatan yang menolak Islam berkembang di daerah Cirebon. Sunan Kalijaga mendapat petunjuk untuk segera mengumandangkan adzan yang diserukan oleh tujuh orang muadzin sebelum sholat. Pada saat akan melaksanakan shalat Subuh, adzan pitu (tujuh) dikumandangkan. Bersamaan dengan itu, dentuman besar terdengar dari kubah masjid. Seketika binasalah kekuatan gaib yang disebarkan oleh makhluk halus bernama Menjangan Wulung. Ternyata selama ini Menjangan Wulung bertengger di atas kubah tersebut. Setelah Menjangan Wulung dapat dikalahkan, pemiliknya masuk Islam.

Menurut cerita, karena ledakan dahsyat tersebut, kubah masjid terlempar ke Banten. Itu sebabnya mengapa hingga saat ini Majid Agung Sang Cipta Rasa tidak mempunyai kubah sedangkan Masjid Agung Banten memiliki dua kubah. Sampai sekarang tradisi adzan pitu masih dilaksanakan. Kalau dahulu adzan pitu itu dikumandangkan ketika shalat Subuh, saat ini adzan pitu dikumandangkan pada saat shalat Jumat, oleh tujuh orang dengan berpakaian serba putih.

Taman Kera Kalijaga

Situs ini terletak di wilayah Kelurahan Kalijaga, kecamatan Harjamukti. Dari terminal bis Harjamukti jaraknya hanya berkisar 500 meter kearah Selatan. Situs ini disebut juga dan atau dikenal sebagai taman kera Kalijaga, karena disitus ini terdapat banyak sekali kera yang telah beradaptasi dengan pengunjungnya. Tradisi meyakini bahwa kera-kera tersebut berasal dari jelmaan pada pengikut Sunan Kalijaga yang tidak mematuhi ajaran Rosulullah. Uniknya kera-kera tersebut seakan-akan mengerti akan batas wilayah mereka. Kera-kera dari kelompok selatan tidak mau membaur dengan kera-kera dari kelompok Utara dan begitu pula sebaliknya. Pada waktu-waktu tertentu, merekapun terlibat dalam tawuran. Mereka berteriak-teriak seakan-akan saling mengejek lalu baku hantam dan baku gigitpun terjadi. Tidak jarang perkelahiran antar kelompok ini dapat menimbulkan kematian yang tragis.

Yang lebih unik lagi pada saat perebutan kekuasaan untuk menduduki status atau tampuk pimpinan. Kera-kera senior yang sudah merasa pantas menjadi pemimpin. (tradisi menyebutnya dengan mandor) akan berpuasa beberapa hari. Setelah berpuasa, barulah mereka maju ke arena pertarungan. Peristiwa ini biasanya terjadi tiga tahun atau lima tahun sekali atau ketika pemimpin mereka yang lama mati. Peristiwa inipun dapat diaksikan oleh pengunjung yang kebetulan berada disitu. Dalam peristiwa itu petarung yang menang langsung akan menjadi pemimpin mereka.

Obyek Wisata Plangon

Tak jauh dari Kota Cirebon, kurang lebih 5 kilometer sebelah barat kota Cirebon, kita bisa singgah di obyek wisata yang berbeda dari obyek-obyek wisata lainnya di kota Cirebon. Obyek wisata ini merupakan perpaduan antara nilai-nilai sejarah, kesejukan alam dan adanya komunitas monyet dengan jumlah lumayan banyak di tempat tersebut. Dengan potensi tersebut, tempat ini sangat layak untuk dijadikan salah satu tujuan wisata di Cirebon.Tepatnya, lokasi ini berada di desa Babakan, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon.

Plangon sendiri berasal dari kata tegal klangenan yang berarti sebuah tempat atau bukit untuk menenangkan diri. Alkisah sekitar 4 abad yang silam ada dua orang pangeran yang bernama Pangeran Panjunan dan Pangeran Kajaksan mencari tempat yang tenang untuk memecahkan permasalahan-permasalahan kehidupan yang sedang dihadapi. Akhirnya kedua orang tersebut menemukan sebuah bukit yang terletak di sebelah barat kota Cirebon yang dianggap sebagai tempat yang paling cocok untuk melaksanakan maksud tersebut. Kedua orang pangeran yang konon masih keturunan dari Bagdad naik ke atas bukit. Dalam perjalanan ke atas bukit, kedua Pangeran itu dihadang oleh penjaga hutan Plangon yang bernama Pangeran Arya Jumeneng. Kedua pangeran dari Bagdad itu dapat memenangkan pertarungan, dan akhirnya ketika sampai di atas bukit kedua Pangeran itu membuat tempat peristirahatan, yang akhirnya sampai sekarang menjadi tempat makam kedua Pangeran tersebut.

Memang bagi para pengunjung yang baru berkunjung ke sini, kesan seram memang terasa. Selain karena memang hutannya yang cukup lebat, juga setiap gerak kita akan diikuti oleh monyet-monyet yang terkadang sedikit jahil. Untuk itu, ketika naik bukit , pawang setempat setidaknya menyertai kita untuk membantu jikalau monyet-monyet tersebut menjadi nakal terhadap para pengunjung. Untuk sampai ke puncak bukit Plangon kita harus menaiki banyak tangga , tidak ada yang tahu tentang jumlah tangga tersebut, bahkan pawangnya sendiri. Tapi dengan berjalan santai kita memerlukan waktu setengah jam untuk sampai puncak Plangon.

Memasuki tangga-tangga pertama, puluhan monyet sudah mulai mengikuti kita, ada yang sekedar mengikuti dan ada yang meminta makanan. Untuk itu para pengunjung disarankan membawa makanan, seperti kacang-kacangan, yang akan kita berikan kepada monyet-monyet tersebut. Setelah beberapa puluh tangga, pawang Plangon memberikan penjelasan,"bahwa di hutan ini ada 6 kerajaan monyet, dimana masing-masing wilayah dipimpin oleh satu jawara monyet". Wilayah satu adalah wilayah paling bawah, yang dipimpin oleh si Jefri, wilayah dua sampai enam adalah semakin ke atas sampai puncak, yang dipimpin oleh masing-masing jawara monyet yaitu, Si Acing, Si Bondol, Si Werman, Si Mandor dan Si Swing.
Tidak ada yang tahu pasti, darimana asal monyet tersebut, apakah memang sudah ada dari dulunya, atau hewan peliharaan Pangeran Panjunan dan Pangeran Kajaksan. Yang jelas, monyet tersebut berada di hutan Plangon dan berkembang biak dengan baik. Tapi memang ada beberapa hal, yang menurut penduduk sekitar adalah aneh. anehnya, ada hari-hari tertentu dimana monyet-monyet tersebut tidak turun ke bawah, tapi terus bersembunyi di pohon. hari-hari tersebut diantaranya jatuh pada tanggal satu muharam. Pernah suatu kali dicoba, disepanjang tangga naik ke puncak ditebarkan ratusan makanan pada tanggal satu Muharram, ternyata tidak ada satupun monyet yang mengambil makanan tersebut. Bandingkan dengan hari-hari lain, jangankan ditaruh ditanah, masih dipegang ditangan saja, makanan yang dibawa bisa diserobot oleh monyet-monyet tersebut.

Akhirnya setelah sampai di puncak bukit, kita bisa melihat makam kedua Pangeran tersebut, dengan tanah sekitar makam yang datar. Bangunan dengan luas kurang lebih 100 meter persegi tersebut, terlihat banyak ditumbuhi lumut karena umurnya yang sudah sangat tua. Makam tersebut terkunci, karena pada hari-hari tertentu saja dibuka. Ditengarai, tanah datar sekitar makam adalah tempat berkumpulnya para murid kedua Pangeran tersebut, dimana Sang Pangeran memberikan wejangan-wejangannya. Sembari melepas lelah, kita bisa duduk-duduk didepan makam, sambil menikmati kesejukan dan keasrian alam sekitar, sambil terus ditemani oleh monyet-monyet yang terus menguntiti kita.

Makam Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari sembilan orang penyebar agama Islam terkenal di Pulau Jawa yang dikenal dengan sebutan Wali Sanga. Kehidupannya selain sebagai pemimpin spriritual, sufi, mubaligh dan dai pada jamannya juga sebagai pemimpin rakyat karena beliau menjadi raja di Kasultanan Cirebon, bahkan sebagai sultan pertama Kasultanan Cirebon yang semula bernama Keraton Pakungwati. Memasuki kompleks pemakaman anda akan melihat Balemangu Majapahit yang berbentuk bale-bale berundak yang merupakan hadiah dari Demak sewaktu perkawinan Sunan Gunung Djati dengan Nyi Mas Tepasari, putri dari Ki Ageng Tepasan, salah seorang pembesar Majapahit. Masuk lebih kedalam anda akan melihat Balemangu Padjadjaran, sebuah bale-bale besar hadiah dari Prabu Siliwangi sebagai tanda penghargaan pada waktu penobatan Syarif Hidayatullah sebagai Sultan Kasultanan Pakungwati (cikal bakal kraton di Cirebon).

Makam Sunan Gunung Jati yang terletak di bukit Gunung Sembung hanya boleh dimasuki oleh keluarga Kraton sebagai keturunannya selain petugas harian yang merawat sebagai Juru Kunci-nya. Selain dari orang-orang yang disebutkan itu tidak ada yang diperkenankan untuk memasuki makam Sunan Gunung Jati. Alasannya antara lain adalah begitu banyaknya benda-benda berharga yang perlu dijaga seperti keramik-keramik atau benda-benda porselen lainnya yang menempel ditembok-tembok dan guci-guci yang dipajang sepanjang jalan makam. Keramik-keramik yang menempel ditembok bangunan makam konon dibawa oleh istri Sunan Gunung Djati yang berasal dari Cina, yaitu Putri Ong Tien. Banyak keramik yang masih sangat baik kondisinya, warna dan design-nya sangat menarik. Sehingga dikhawatirkan apabila pengunjung bebas keluar-masuk seperti pada makam-makam wali lainnya maka barang-barang itu ada kemungkinan hilang atau rusak.

Ada 9 pintu yang terdapat dalam Makam Sunan Gunung Jati, yaitu
1)Pintu Gapura,
2)Pintu Krapyak,
3)Pintu Pasujudan,
4)Pintu Ratnakomala,
5)Pintu Jinem,
6)Pintu Rararoga,
7)Pintu Kaca,
8)Pintu Bacem dan
9)Pintu Teratai.
Para pengunjung atau peziarah hanya diperkenankan masuk sampai di pintu ke-5 saja.

Para peziarah di Makam Sunan Gunung Jati hanya diperkenankan sampai dibatas pintu serambi muka yang pada waktu-waktu tertentu dibuka dan dijaga selama beberapa menit kalau-kalau ada yang ingin menerobos masuk. Dari pintu yang diberi nama Selamat Tangkep itu terlihat puluhan anak tangga menuju Makam Sunan Gunung Jati. Para peziarah umum diharuskan masuk melalui gapura sebelah Timur dan langsung masuk pintu serambi muka untuk berpamit kepada salah seorang Juru Kunci yang bertugas. Setelah diijinkan maka peziarah umum dapat menuju ke pintu barat yaitu ruang depan Pintu Pasujudan.

Uniknya didalam kompleks makam Sunan Gunung Jati terdapat kompleks makam warga Tionghoa dibagian barat serambi muka yang dibatasi oleh pintu yang bernama Pintu Mergu. Lokasinya disendirikan dengan alasan agar peziarah yang memiliki ritual ziarah tersendiri seperti warga Tionghoa tidak akan terganggu dengan ritual ziarah pengunjung makam.Makam Sunan Gunung Jati dibersihkan tiga kali seminggu dan selalu diperbaharui dengan rangkaian bunga segar oleh Juru Kunci yang bertugas. Penggantian bunga dilakukan setiap hari Senin, Kamis dan Jumat. Pada hari Senin dan Kamis petugas akan masuk dari pintu yang disebut dapur Pesambangan, sedangkan pada hari Jumat petugas akan masuk dari pintu tempat masuknya peziarah disiang hari.

Jumlah petugas Makam Sunan Gunung Jati seluruhnya ada 108 orang yang terbagi dalam 9 kelompok masing-masing 12 orang berjaga-jaga secara bergiliran selama 15 hari yang diketuai oleh seorang Bekel Sepuh dan Bekel Anom (merupakan tambahan setelah Kraton Cirebon dipecah menjadi Kraton Kasepuhan dan Kanoman). Mereka yang mengemban tugas tersebut umumnya karena meneruskan tugas dari ayah atau saudara yang tidak mempunyai anak atau bisa juga karena mendapat kepercayaan dari yang berhak. Pada saat mereka diberi amanat mengemban tugas itupun ada serangkaian upacara atau selametan yang harus dilakukan oleh masing-masing orang. Seluruh petugas makam termasuk para Bekel dipimpin oleh seorang Jeneng yang diangkat oleh Sultan.

Adapun riwayat dibalik jumlah 108 berawal dari Pemerintahan Sunan Gunung Jati di Kraton Pakungwati yang pada suatu hari menangkap perahu yang terdampar dengan seluruh penumpang berjumlah 108 orang seluruhnya berasal dari Keling (Kalingga) dan berada dibawah pimpinan Adipati Keling. Orang-orang Keling ini kemudian menyerahkan diri dan mengabdi kepada Sunan Gunung Jati dan dipercaya untuk menetap dan menjaga daerah sekitar pemakaman sampai ke anak cucu. Sebagian masyarakat yang bermukim disekitar kompleks makam adalah keturunan orang-orang Keling tersebut. Oleh karena itu ke-12 orang yang bertugas tersebut mengemban tugas sesuai dengan jenjangnya sebagai awak perahu nelayan seperti juru mudi, pejangkaran dan lain sebagainya.

Selain Sultan dan Juru Kunci yang ditunjuk maka tidak ada lagi orang yang diperkenankan masuk ke makam Sunan Gunung Jati. Konon di sekitar makam Sunan Gunung Jati terdapat pasir Malela yang dibawa langsung dari Mekkah oleh Pangeran Cakrabuana. Pasir ini tidak diperbolehkan dibawa keluar dari kompleks pemakaman. Para Juru Kunci sendiri diharuskan membersihkan kaki-nya sebelum dan sesudah dari makam agar tidak ada pasir yang terbawa keluar. Pelarangan ini sesuai dengan amanat dari Pangeran Cakrabuana sendiri, mungkin karena pada jaman dahulu upaya untuk membawa Pasir Malela dari Mekkah ke kompleks pemakaman teramat berat dan sulit.

Tak jauh dari bangunan makam terdapat masjid yang diberi nama Masjid Sang Saka Ratu atau Dok Jumeneng yang konon dulunya digunakan oleh orang-orang Keling yang pernah memberontak pada Sunan Gunung Jati. Didalam masjid kita bisa melihat Al-Quran yang berusia ratusan tahun dan dibuat dengan tulisan tangan (bukan cetakan mesin).

Ada beberapa sumur disekitar bangunan masjid, yaitu Sumur Kemulyaan, Sumur Djati, Sumur Kanoman dan Sumur Kasepuhan. Masjid ini sendiri memiliki 12 orang Kaum yang pengangkatannya melalui prosedur Kesultanan dengan segala tata cara dan tradisi lama yang masih dijalankan. Ke-12 orang tersebut terdiri dari 5 orang Pemelihara, 4 orang Muadzin, 3 orang Khotib ditambah dengan seorang penghulu atau Imam. Kecuali penghulu mereka bertugas secara bergilir setiap minggu dengan formasi 1 orang pemelihara, 1 orang Muadzin dan 1 orang Khotib.

Ada lagi legenda para wali yang berhubungan dengan Sumur Jalatunda yang berasal dari jala yang ditinggalkan Sunan Kalijaga saat dirinya diperintahkan mencari sumber mata air untuk berwudhu-nya para wali yang pada saat itu sedang mengadakan pertemuan. Sumur Jalatunda ini dikenal dengan Zam-zam-nya Cirebon. Mengunjungi kompleks pemakaman sunan Gunung Jati sebetulnya tidak terlalu sulit. Lokasi-nya tidak jauh dari kota Cirebon. Jalan masuknya juga bisa dilalui oleh mobil dan sudah tersedia lahan parkir yang cukup luas.

Yang sangat disayangkan adalah banyaknya penduduk setempat yang meminta donasi tidak resmi kepada pengunjung atau peziarah yang datang ke makam. Dari mereka yang meminta dengan suka rela sampai dengan mereka yang menggebrak meja tempat diletakkannya kotak donasi untuk menakut-nakuti pengunjung apabila mereka menolak untuk membayar. Yang meminta donasi tidak hanya orang dewasa, melainkan anak-anak balita sampai kaum tua renta juga setia mengikuti bahkan ada yang sambil menarik-narik baju pengunjung. Macam-macam alasan yang digunakan, dari donasi untuk pemeliharaan makam sampai sumbangan sebagai ‘pembuka pintu’. Kalau anda datang bersama dengan rombongan peziarah, bersiaplah menghadapi puluhan peminta sumbangan yang sudah berbaris panjang dari parkiran anda masuk sampai ke pintu gerbang peziarah.

Sangat mengesalkan sebetulnya. Pemandu memberitahu agar kami ‘jangan memulai’ memberikan donasi setiap kali diminta karena hanya akan membuat peminta donasi lain akan memburu. Walaupun kami sudah berusaha membatasi jumlah donasi yang kami keluarkan dengan terus menerus mengatakan “tidak” tetap saja kami harus merogoh kantong beberapa kali. Upaya menertibkan konon sudah pernah ada. Sultan pernah memerintahkan mereka untuk berhenti meminta donasi tidak resmi tersebut, namun seminggu-dua minggu kemudian timbul kembali.

Alangkah baiknya apabila pihak Kraton yang berwenang atau pemerintah daerah mulai memikirkan cara untuk menertibkan mereka karena bisa jadi akan merusak citra tempat pemakaman sunan Gunung Jati ini dan umat muslim pada umumnya. Aktivitas meminta-minta dengan paksa yang dilakukan kaum dewasa dan orang tua akan memberikan contoh tidak baik bagi anak kecil warga sekitar. Tak heran apabila mereka nantinya juga menjadi peminta-minta. Walaupun Sunan Gunung Jati pernah bertutur “Ingsun titip tajug lan fakir-miskin” yang artinya “Aku titipkan masjid/musholla dan fakir miskin”.

Tari Topeng



















Tari Topeng Cirebon, adalah salah satu tari/cerita tradisional yang masih hidup di kota Cirebon dan sekitarnya.
Secara garis besar tari Topeng Cirebon ini terdiri atas :
1. Tari yang bersifat raksasa ( Danawa )
2. Tari yang bersifat krodan ( gagah ) misalnya : Rahwana, Kangsa
3. Tari Tumenggungan
4. Tari Panji

Dari keempat tari topeng ini dapat dikembangkan secara tradisi, yang memiliki khas sendiri seperti :
1. Tari Panji
2. Tari Samba
3. Tari Tumenggung
4. Tari Rumyang
5. Tari Kelana / Rahwana
6. Tari Jingga Anom
7. Tari Pentul
8. Tari Tembem

Akan tetapi yang sampai saat ini dikenal adalah Tari Panji, Tari Samba, Tari Tumenggung, Tari Rumyang dan Tari Kelana / Rahwana. Tari Topeng ini sesungguhnya secara filsafat menggambarkan perwatakan kehidupan manusia.
1. Tari Panji : menggambarkan manusia yang suci layaknya seorang prabu, pemimpin yang arif, adil dan bijaksana dan selalu mengerjakan perbuatan yang baik.
2. Tari Samba : menggambarkan gemerlapnya keduniawian, harta benda, wanita, bermewah - mewah, glamour. Oleh karena itu tarian ini kelihatan lincah dan kaya akan gerak dan irama.
3. Tari Tumenggung : adalah gambaran dari sikap kehidupan prajurit dan kepahlawanan yang gagah berani. penuh dedikasi, loyalitas dan tanggung jawab yang tinggi.
4. Tari Rumyang :
5. Tari Kelana / Rahwana : menggambarkan angkara murka, watak manusia yang serakah dan menghalalkan segala cara demi mewujudkan ambisi pribadinya. Namun dia juga adalah pemimpin yang kaya raya, memiliki keduniawian yang tangguh.
6. Tari Jingga Anom
7. Tari Pentul
8. Tari Temben

Melihat tradisi seni tari topeng, pengamatan kita tidak bisa lepas dengan perlengkapan yang dipakai seperti tersebut di bawah ini :
1. Kedok / Topeng yang terbuat dari kayu dan cara memakainya dengan menggigit bantalan karet pada bagian dalam nya.
2. Sobra sebagai penutup kepala yang dilengkapi dengan jamangan dan dua buah sumping.
3. Baju yang berlengan.
4. Dasi yang di lengkapi dengan peniti ukon (mata uang jaman dulu )
5. Mongkron yang terbuat dari batik lokoan.
6. Ikat pinggang stagen yang dilengkapi badong.
7. Celana sebatas bawah lutut.
8. Sampur / selendang
9. Gelang tangan
10. Keris
11. Kaos kaki putih sampai lutut
12. Kain batik
13. Kadang - kadang dilengkapi dengan boro (epek)
Selain kelengkapan busana tersebut di atas kadang - kadang untuk Tari Topeng Tumenggung menggunakan tambahan berupa tutup kepala kain ikat dan di lengkapi dengan peci dan kaca mata.

Tari topeng diringan dengan musik gamelan, biasanya berlaras slendro atau prawa yang terdiri dari :
1. Satu pangkon bonang
2. Satu pangkon saron
3. Satu pangkon titil
4. Satu pangkon kenong
5. Satu pangkon jengglong
6. Satu pangkon ketuk
7. Satu pangkon klenang
8. Dua buah kemanak
9. Tiga buah gong (kiwul, sabet dan telon)
10. Seperangkat kecrek
11. Seperangkat kendang yang terdiri dari : kempyang, gendung, ketiping. Semuanya dimainkan dengan alat pemukul, kecuali untuk Tari Topeng Tumenngung kendang dimainkan secara biasa yaitu di tepak/dipukul dengan tangan.

Lagu - lagu yang mengiringi adalah :
• Kembangsungsang untuk Topeng Panji
• Kembangkapas untuk Topeng Pemindo
• Rumyang untuk Topeng Rumyang
• Tumenggung untuk Topeng Tumenggung
• Barlen untuk Topeng Jinggaanom
• Gonjing untuk Topeng Kelana

Juga dilengkapi dengan lagu tratagan dan lagu wayang perang pada saat perang antara Tumenggung dan Jinggaanom. Ada baiknya untuk menambah pengetahuan kita bersama untuk mengetahui macam - macam bentuk sobra :
• Sobra sulu selembar
• Sobra jeruk sejajar
• Sobra Gedang searip
• Sobra Merang segedeng

Dengan mengetahui perjalanan seni tari tradisional di Cirebon khususnya, jelaslah kita dituntut untuk berupaya agar seni ini tidak habis dimakan jaman dan ditinggalkan oleh generasi yang akan datang.

Musik Tarling

Tarling merupakan kesenian khas dari wilayah pesisir timur laut jawa barat (indramayu-cirebon dan sekitarnya). Bentuk kesenian ini pada dasarnya adalah pertunjukan musik, namun disertai dengan drama pendek. Nama "tarling" diambil dari singkatan dua alat musik dominan: gitar akuistik dan suling. Selain kedua instrumen ini, terdapat pula sejumlah perkusi, saron, kempul, gong dan dangdut organ tunggal.

Awal perkembangan tarling tidak jelas. Namun demikian, pada tahun 1950-an musik tarling telah disiarkan oleh Radio RRI cirebon dalam acara "irama kota udang", dan menjadikannya populer. Pada tahun 1960-an pertunjukan ini sudah dinamakan "tarling atau dangdut organ tunggal" dan mulai masuk unsur-unsur drama.

Semenjak meluasnya popularitas dangdut pada tahun 1980-an, kesenian tarling terdesak. Ini memaksa para seniman tarling memasukkan unsur-unsur dangdut dalam pertunjukan dangdut organ mereka, dan hasil percampuran ini dijuluki tarling-dangdut organ (atau tarlingdut). Selanjutnya, akibat tuntutan konsumennya sendiri, lagu-lagu tarling di campur dengan perangkat musik elektronik sehingga terbentuk grup-grup organ tunggal tarling organ tunggal. Pada saat ini, tarling sudah sangat jarang dipertunjukkan dan tidak lagi populer. Tarling dangdut lebih tepat disebut dangdut cirebon.